Cuaca telah menjadi bersahabat. Badai berlalu dan pepohonan tampak segar. Burung pipit yang sayapnya terluka telah kembali ceria. Anaka-anaknya pun mulai besar. Bulu di tubuh dan sayapnya terlihat kekar. Setiap matahari terbit, anak-anaknya mengembangkan sayap, mengepak-ngepak dan saling dorong.
“Ayah, mari kita terbang, aku sudah bisa terbang. Sayapku sudah kuat”, kata salah satu anaknya. Yang lain menimpali, “Iya ayah. Mari kita terbang. Kita kelilingi dunia”. Yang satu lagi menambahi, “Ayo ayah. Kita mencari bulir-bulir padi, Perutku mulai lapar”.
Ayah dan ibu pipit tertawa. “Mari kita terbang”, kata ayahnya. Lalu mereka mengepakkan sayapnya dan menjatuhkan diri dari sarang, dan terbang…….. Bersama-sama mereka terbang.
“Ke mana kita ayah”, teriak yang paling depan.
“Kita ke sawah. Mencari bulir-bulir padi”, kata ayahnya.
Mereka terbang berkeliling dan mendarat di sawah yang padinya mulai menguning. Mereka makan bulir-bulir padi.
“Kalau sudah kenyang, ambillah setangkai dan bawa pulang ke sarang. Untuk makan hari ini”, kata ayah pipit.
Anak-anak pipit mencoba memotong beberapa tangkai tetapi tidak bisa membawanya. Paruhnya terlalu kecil untuk membawa beberapa tangkai padi. Mereka hanya mampu membawa satu tangkai. Akhirnya beberapa tangkai yang sudah dipotong ditinggalkan.
Mereka terbang bersama ke sarang. Sampai sarang mereka menaruh tangaki padi sambal bercicit-cicit gembira. Anak-anak pipit yang merasa sudah kuat ingin kembali ke sawah untuk mengambil lebih banyak padi. Tetapi dicegah ayahnya.
“Tidak perlu kembali. Ini cukup kita makan sampai besok!”, kata ayahnya.
“Kenapa ayah? Tidakkah lebih baik kita tumpuk tangkai-tangkai padi itu di sini, sehingga kita tidak perlu bersusah payah mencarinya lagi untuk beberapa hari, bahkan berminggu-minggu?”
“Tidak! Ini saja cukup. Besok kalau lapar kita cari makan lagi!”
Anak-anaknya tidak bisa memahami nasihat ayahnya. “Dengarkan ayahmu anak-anak”, kata ibunya. Lalu ayah pipit menjelaskan. “Ingat, kita ini burung yang kecil tetapi disayang Tuhan. Tuhan sudah berjanji untuk memelihara dan melindungi kita. Karena itu kita tidak perlu mengkhawatirkan hari esok. Semuanya akan disediakan Tuhan asal kita mau berserah kepada-Nya”.
“Tetapi ayah, banyak burung dan binatang lain yang menumpuk makanan di sarangnya”, sanggah seorang anak pipit.
“Benar. Mereka itu hidup seperti celeng (babi hutan). Celeng itu kerjanya mencuri makan di kebun-kebun petani dan menumpuknya di sarang. Binatang itu tidak peduli apakah yang lain makan atau tidak, yang penting dirinya bisa menumpuk makanan bisa untuk berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Banyak makhluk ciptaan Tuhan yang seperti itu. Pada dasarnya mereka itu celeng. Kita bukan celeng! Kita pipit, burung kecil yang selalu berserah dan setia kepada pemeliharaan Tuhan”.
“Tetapi di sawah itu padi sudah menguning ayah”, cetus salah satu anak.
“Yah, benar. Itulah makanan petani. Mereka bekerja keras, membajak, menabur benih, menyiangi tetapi yang menumbuhkan, yang memekarkan buah itu Tuhan. Petani itu disayang Tuhan, seperti kita. Karena itu biarlah petani itu menikmati hasil kerja kerasnya. Kita telah mendapat bagiannya, tidak perlu serakah!”
Anak-anak itu mulai mengerti. Setiap hari mereka terbang bersam,a mencari makan. Dan seperti kata ayah pipit, mereka tidak menumpuk makanan.
Tiba-tiba seekor elang melintas berkejaran dengan alap-alap. Mereka terkejut. Lalu mereka berdiam diri di ranting pohon. Anak-anak sangat ketakutan. Ayahnya menghibur, “Tenang anak-anak. Tidak akan ada apa-apa. Berdoalah, memohon pertolongan Tuhan agar dihindarkan dari bencana”.
Anak-anak itu gemetar. “Ayah, kenapa kita tidak minta Tuhan supaya mengubah kita menjadi elang atau alap-alap?”.
“Oh, tidak anak-anakku. Kita adalah pipit. Elang itu diciptakan Tuhan sebagai predator, pemangsa sesama ciptaan. Banyak binatang diciptakan sebagai predator. Mereka menerjang dan menyerang sesama ciptaan Tuhan dan memangsanya. Kita tidak seperti itu anakku”..
“Yah, kalau kita menjadi elang, kan kita tidak perlu takut kepada siapa-siapa?”
“Sekarang pun kita tidak perlu takut kepada siapa-siapa anakku. Tuhan, adalah perlindungan kita yang memelihara kita. Seandainya tubuh kita yang kecil ini diubah oleh Tuhan menjadi besar seperti elang, maka keberadaan kita bukanlah sebagai predator. Jangan kita memangsa sesama kita hanya untuk menunjukkan bahwa kita kuat, kita berkuasa! Oh, tidak anakku. Kita diciptakan sebagai pipit, yang kecil yang harus taat dan setia kepada Tuhan dan selalu rendah hati”.
“Ah, ayah fatalis!”
“Bukan fatalis, anakku, bukan. Kita bukan menyerah dan menerima nasib apapun yang menimpa kita. Kita harus tetap berjuang mempertahankan keharmonisan alam ini. Kita pipit yang kecil. Kita bisa saja menebar ancaman kepada petani dengan menghabiskan bulir-bulir padi di sawah. Tetapi itu tidak boleh kita lakukan. Kita makan secukupnya. Kita diancam oleh elang dana lap-alap, kita harus mempertahankan diri, bukan dengan melawan tetapi menghindar. Sebab elang tetap elang, tidak punya belas kasihan pada sesame titah, Mari kita pertahankan keberadaan kita sebagai pipit yang kecil dan rendah hati, yang selalu bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan dan pemeliharaan-Nya. Berkat yang kita terima ini sudah cukup, mari kita menjadi berkat bagi yang lain. Bahkan dalam berkekurangan, kita harus tetap menjadi berkat. Itulah keberadaan kita, keberadaan sebagai burung pipit yang kecil”.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar