Kawruh Budaya Jawa - Busana



Kawruh Budaya Jawa -  Busana 


Pendahuluan

Busana Jawa sebenarnya adalah pakaian menurut adat Jawa. Disebut busana karena pakaian adat Jawa bukan sekadar pakaian untuk menutupi tubuh atau aurat saja. Busana atau pakaian adat Jawa selain berfungsi sebagai penutup tubuh juga menunjukkan identitas seseorang, termasuk derajat dan pangkat atau kelas sosial dalam struktur masyarakat. Karena itu dalam hal berbusana Jawa ada berbagai aturan, unggah-ungguh, dan tatakrama. Kita ambil contoh, ketika melihat seorang anak muda bercelana jean butut dipadu dengan surjan lurik bagian atasnya misalnya, sebagai orang Jawa hati kita akan merasa terusik. Kenapa? Karena perpaduan seperti itu sangat tidak pantas, bahkan secara tidak langsung ada tindakan pelecehan. Oleh karena itu kita terlebih dahulu harus mengetahui, apa saja kelengkapan busana Jawa? Almarhum Soeharto, mantan presiden pernah menegur pemuda yang diundang ke istana karena mengenakan pakaian Jawa tidak selayaknya. Pada jaman itu wartawan yang meliput kegiatan presiden tidak diperbolehkan mengenakan jin dan kaos oblong. Pakaian para undangan pun harus resmi, kalau bukan batik, ya baju lengan panjang dengan dasi. Dalam acara kenegaraan, semua yang hadir harus mengenakan pakaian resmi, yaitu jas dan dasi. Bahkan wartawan yang meliput harus berpakaian resmi, dengan jas dan dasi. Untuk acara resmi keluarga, Soeharto selalu mengenakan pakaian Jawa gaya Jogja: kain, surjan, dan blangkon tanpa keris.



Busana Jawa



Kini busana Jawa semakin jarang dikenakan. Untuk kaum perempuan hingga kini memang masih diuri-uri. Busana untuk kaum perempuan bahkan sudah dikenal sebagai busana nasional, pakaian resmi. Perkembangannya pun  untuk saat inmi sudah sangat baik. Dari segi kepantasan dan kepraktisannya, busana Jawa putri mengalami revolusi yang luarbiasa. Kita bisa mencari kain (jarik atau sinjang) yang sudah diwiru di toko-toko busana dari tingkat yang sangat mahal dan terkenal hingga pasar swalayan, dan tinggal memakai dengan resluiting (sreet…. .jadi, dan rapi). Begitupun kebaya, kemben, gelung dan sebagainya. Semua serba praktis dan indah (tergantung duitnya saja, mau beli yang mahal atau yang murah).

Tetapi bagaimana dengan busana pria? Busana Jawa pria seperti barang mewah. Kita dapat menyaksikan busana Jawa pria dikenakan hanya pada acara adat Jawa, khususnya pada acara manton. Dulu (tahun 1982-1987) ada anggota DPR yang selalu mengenakan busana adat Jawa dalam acara kenegaraan. Tetapi ada yang berkomentar bahwa itu menyalahi protokoler. Sebab dalam undangan selalu ditulis, pakaian nasional, dan yang ditetapkan sebagai pakaian nasional adalah celana panjang, baju, jas, dasi, sepatu dan peci. Sedangkan di luar itu dianggap sebagai pakaian adat. Apa saja kelengkapan busana pria? Banyak “dhukun manten” atau perias penganten menyewakan busana Jawa. Tetapi banyak dari mereka yang tidak tahu kelengkapan busana Jawa, apalagi memakaikannya (ndandani). Namun banyak orang Jawa yang sudah tidak mengenal kelengkapan busana Jawa, sehingga ketika harus mengenakannya dalam upacara adat akan menurut saja pada periasnya.

Sebenarnya, kita bisa memakainya sendiri, asalkan tahu  apa saja kelengkapan busana Jawa. Ada banyak gaya busana Jawa  yang berlaku di daerah di pulau Jawa. Gaya Sunda jelas lain dengan gaya Jawa. Gaya Madura juga lain dengan gaya Jawa. Tetapi gaya busana Jawa sendiri, berbeda antara gaya Surakarta dan Jogjakarta. Bahkan untuk gaya Surakarta ada perbedaan antara gaya kasunanan dengan mangkunegaran. Di bawah ini kelengkapan busana menurut gaya kasunanan Surakarta, yaitu:

1)   Baju atau rasukan, yang biasa disebut beskap. Untuk abdi dalem jajar, lurah, mantri, penewu, bupati serta sentana panji ke bawah memakai atela (beskap yang kancingnya di tengah dada); sedangkan sentana dalem ke atas, dan pangeran wayah berupa baju sikepan (beskap yang menutup dada dengan kancing di pinggir). Tentang beskap, ada berbagai bentuk. Gaya Surakarta dan Jogyakarta pun sangat berbeda. Di Jogya dikenal surjan dengan yang kedua ujung nya berbentuk runcing.  Bagian belakang tertutup seluruhnya. Model ini tidak dikenal di Sala. Di Sala dikenal paling tidak beskap landung (panjang, tertutup dan dipakai tanpa mengenakan keris) dan atela, pendek dan di bagian belakang ada cekungnya. Model atela dipakai untuk mengenakan keris. Ada lagi gaya Langenarjan, yaitu berbentuk jas bukak pendek, dilengkapi dengan dasi kupu-kupu, dan bagian belakang kerowok untuk keris. Model itu dikenalkan pertama kali oleh Mangkunegara IV ketika diundang oleh PB IX untuk bertemu di pesanggrahan Langenharja, Sukaharja.

2)   Keris. Ada dua macam bentuk keris yaitu gayaman (godhongannya tidak runcing)  dan bentuk ladrangan (godhongannya runcing). Bentuk gayaman dipakai dalam pisowanan biasa (dengan beskap) atau dalam acara sripah (layatan). Sedangkan ladrangan dipakai untuk upacara resmi atau upacara yang sifatnya sukacita.

3)   Dhestar atau blangkon.. Ada beberapa bentuk dhestar atau blangkon, dan blangkon akan menunjukkan derajat atau tingkat sosial. Blangkon untuk abdi dalem jajar sampai tingkat  bupati menggunakan kuncung dengan mondholan cekok. Kuncung berbentuk segitiga yang berada di tengah-tengah dahi, sedangkan mondholan cekok berbentuk seperti bungkusan jamu yang dipakai nyekoki anak-anak, bulat seperti buah jengkol., Untuk sentana riya dan pangeran/putra raja memakai blangkon tanpa kuncung dan mondholan jebehan yaitu yang berbentuk lebar agak rata dengan sayap. Bentuk blangkon jogya berbeda dengan blangkon Sala, Blangkon Jogya memakai monholan besar (sebesar telur bebek), tidak ada yang berkuncung.

4)   Sabuk cindhe. Sabuk cindhe adalah sabuk yang bentuknya seperti stagen berwarna-warni dan diberi benang warna emas. Pada jaman dulu sabuk cindhe hanya digunakan oleh raja, namun kemudian diikuti oleh anak cucu raja serta hanya sentana riya ke atas yang boleh mengenakannya. Namun sekarang dalam perhelatan banyak orang memakai sabuk cindhe. Dalam hajatan, pemangku hajat mengenakan sabuk sindur (kain berwarna merah putih), sedangkan orang yang kematian mengenakan sabuk berwarna hitam;  Sebelum mengenakan cindhe, terlebih dahulu memakai stagen.

5) Epek timang, yaitu sabuk kecil bertimang. Epek itu berwarna hitam dengan bordir benang emas yang berbentuk nguntu walang, (seperti gigi belalang). Pada jaman dulu epek timang hanya boleh dikenakan oleh pangeran dan riya ke atas, sedangkan abdi dalem dengan segala pangkat bi bawahnya hanya boleh mengenakan yang polos (lus);

6)   Sinjang atau kain jarik. Tidak semua motif jarik boleh dikenakan oleh masyarakat. Jarik yang bermotif lereng hanya boleh dikenakan pangeran, anak maupun cucu raja. Dalam hajatan manton, orang tua pengantin mengenakan jarik bermotif truntum, yaitu motif bintang kecil yang dihubungkan oleh garis memenuhi seluruh bidang. Motif ini merupakan lambang penyatuan semua unsur. Perkawinan dipahami sebagai penyatuan dua keluarga besar menjadi satu. Sedangkan untuk pengantin mengenakan jarik bermotif sida mukti, yang melambangkan harapan akan kehidupan yang sejahtera. Kain sebelum dikenakan sudah diwiru (lipatan). Untuk kain perempuan, wironannya kecil, sedangkan untuk laki-laki wironannya agak besar. Wiron gaya Surakarta menyimpan pengasih (bagian pinggir kain yang berwarna putih) di dalam, sedangkan gaya Jogjakarta menempatkan pengasih di bagiuan luar sehingga kelihatan putih.

7)  Selop, yaitu alas kaki yang bagian depannya tertutup.

Cara memakai busana Jawa dan urut-urutannya.

Sebelum memakai busana Jawa, telitilah kelengkapan busa tersebut. Jarik atau sinjang sudah diwiru dengan wironan di sebelah kanan, motif tidak terbalik dan seterusnya. Wironan untuk pria lebih lebar dari wironan untuk putri, dan kalau putri wironannya di sebelah kiri. Lalu telitilah apakah ada stagen, lalu cindhenya cukup panjang atau epek timangnya muat di lingkaran perut, beskapnya lengkap kancingnya, dan seterusnya. Setelah semuanya lengkap, maka tinggallah memakainya dengan urutan sbb.:

1.       Bebedan atau memakai kain (sinjang): a) peganglah ujung kain berwiron dengan tangan kanan dan pengasih (bingkai kain yang bergaris putih) dengan tangan kiri; b) rentangkan kain; 3) bebedkan tangan kiri (tlangkupkan) terlebih dahulu ke arah kanan hingga blebed kaki; 4) rapikan dengan cara menarik ke belakang; lalu 5) bebedkan wiron ke arah kiri dengan posisi wiron jatuh tepat di tengah perut.. Ujung kain di bagian bawah ditata  menjadi rata sama tinggi. Kalau salah satu ujungnya lebih panjang akan disebut ngadal melet (seperti kadal menjulurkan lidah); 6) kancingkan kain dengan cara diikat atau diselipkan ujung atasnya ke bagian dalam.

2.       Stagenan atau memakai stagen: a) siapkan stagen dengan posisi tergulung terbalik (bagian dalam di sebelah luar); b) bebatkan (lingkarkan) stagen se arah dengan kain (ke kiri) dimulai dari bawah ke atas; c) kancingkan stagen setelah kencang dan terasa nyaman dipakai. Cara mengancingkannya bisa dengan peniti atau diselipkan ujungnya ke bagian dalam.

3.       Sabukan cindhe:  a) berbeda dengan stagen yang dibebatkan dari bawah, sabuk cindhe dibebatkan ke perut dengan posisi dari atas ke bawah sehingga kelihatan berlapis-lapis. Lapisan cindhe semakin ke bawah semakin besar (jarak lapisannya bisa diukur dengan dua jari melintang; b) arah cindhe sama dengan stagen yaitu dari kanan ke kiri. Lapisan cindhe yang demikian itu disebut mucuk bung (seperti pucuk bung atau tunas bambu yang disayur). Usahakan ubetan cindhe bisa 5 sap (lima ubetan). Kalau lebih dari 5 ubetan akan tampak brukut, tetapi kalau kurang dari 5 ubetan disebut kurang mbangkek; c) usahakan ujung cindhe berada di pinggir kanan atau kiri, jangan tepat di tengah-tengah bagian depan atau belakang; d) kancingkan cindhe dengan peniti

4.       Epek timang: a) ubetkan epek timang dari kanan ke kiri (seperti ubetan stagen); b) timang harus dijatuhkan di tengah perut; c) letak epek diusahakan dua jari melintang dari bagian terbawah cindhe.

5.       Rasukan (beskap): a) pakailah beskap dengan memasukkan tangan ke lengan secara bergantian hingga trep; b) kalau mengenakan atela, kancingkan dari atas ke bawah, sedangkan untuk beskap sikepan, sikepkan bagian ujung kiri ke kanan dan kemudian dikancing lalu bagian kanan disikepkan ke kiri, sehingga nampak dari luar kancing sikapan ada di sebelah kiri, searah dengan nyamping.

6.       Dhestar atau blangkon: a) pakailah blangkon dengan posisi kuncung atau celah depan tepat di tengah-tengah dahi; b) pasangkan blangkon jangan terlalu mblesek tetapi jangan terlalu numpang.

7.       Selopan: a) pakailah selop berwarna hitam; b) masukkan kaki kanan terlebih dahulu baru disusul kaki kiri; c) jangan terlalu memasukkan kaki ke dalam selop hingga kelihatan mblesek tetapi jangan terlalu kecil.

8.       Jam bandhul: kalau ada hiasan (aksesori) berupa jam gandul, a) masukkan jam bandhul ke kantong, b) kaitkan gantungan jam ke kancing, c) posisi bagong di ujung gantungan yang dikancing.

9.       Keris: a) untuk pisowanan dan kesripahan, keris yang dipakai warangkanya gayaman (humahan, yang ujungnya tidak runcing, seperti keris Bali), sedangkan untuk acara yang lain model keris ladrangan (bapangan, yang ujungnya runcing); b) angkup atau godongan, yaitu bagian warangka yang lebih pendek harus berada di sebelah dalam dan bapangan-nya di luar, sehingga deder (pegangan atau garan) menghadap ke dalam. Hal ini perlu diperhatikan karena pemasangan keris yang terbalik bisa menimbulkan keributan karena dianggap pelecehan atau menantang berperang; c) keris dalam posisi yang sudah benar dimasukkan di sabuk cindhe nomor dua (ubetan kedua) dari bawah.

Ada beberapa cara mengenakan keris, dan pengenaan itu memiliki arti dan kepentingan yang berbeda, yaitu: a) ogleng, mengenakan keris di belakang miring ke kanan dan warangka menghadap ke atas. Ini cara mengenakan yang umum. Cara ini melambangkan keadaan sukacita, tidak ada niat untuk mengkhususkan seseorang; b) dederan atau andoran, mengenakan keris lurus di belakang dengan warangka menghadap ke kiri (mengikuti tulang belakang). Cara ini dipakai ketika menghadap atasan atau sesepuh, atau mengikuti ibadah. Ini melambangkan penghormatan; c) kewal atau ngewaake keris, mengenakan keris di belakang dengan ondong ke kiri. Dulu cara ini dipakai prajurit dalam keadaan siap siaga. Cara itu merupakan cara menantang orang lain, sehingga pantang digunakan; d) sungkeman, mengenakan keris dengan memasukkan seluruh warangka ke dalam dan hanya bagian atas (landeyan, angkup, pijetan) yang kelihatan. Cara ini dikenakan saat mengantar jenasah; e) Nganggar atau anganggar  pusaka, mengenakan   keris digantungkan di paha sebelah kiri digantungkan pada epek. Cara itu dipakai oleh para pemimpin barisan (mengenakan dua keris, yang satu di belakang); f) sikep, mengenakan keris di bagian depan, condong ke kanan dengan warangka menghadap ke bawah. Cara itu pada umumnya dikenakan oleh ulama yang memakai jubah seperti Pangeran Dipanegara; g) Mbrongsong, membawa keris dengan cara sikepan tetapi keris dibungkus rapat sampai tidak kelihatan. Cara itu digunakan untuk membawa pusaka yang tidak boleh diketahui umum. 

Penutup

Cara yang tepat dan baik dalam berbusana Jawa akan  membuat kita semakin memahami eksistensi kita sebagai orang Jawa. Semoga kawruh dari leluhur ini dapat kita lestarikan di dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa. Sebab siapakah lembaga yang dapat menjadi ahli waris budaya Jawa kalau bukan GKJ? Selain pemerintah yang memang merupakan institusi yang terorganisasikan (kuat dalam infrastruktur dan dana tetapi sangat lemah dalam implementasi), hanya GKJ (dan gereja-gereja berbahasa Jawa) yang merupakan institusi dan memiliki kekuatan dalam hal infrastruktur dan impelementasi. Semoga.   (mBah MO, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Burung Pipit dan Tikus

Burung Pipit dan Tikus Burung pipit dan anak-anaknya tertegun melihat keadaan sawah yang berantakan. Mereka hinggap di pohon di...

Best of The Best