Sabtu-sabtu begini enaknya cerita yang ringan-ringan saja, sambal bersantai di rumah, mengenang masaa lalu. Ini kejadian tahun 1984, saya meliput Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur, di pesantren Syalafiyah Asyafiiyah di desa Asembagus. Saya pikir, ini menarik.. Tidur bersama teman-teman wartawan di pesantren pernah saya alami di pesantren modern Pabelan di Muntilan tahun 1979, asuhan Kyai Hamam. Pesantren modern itu terkenal melahirkan cendekiawan yang berpikiran maju. Lha ini saya akan tinggal di pesantren tradisional di sebuah desa dengan ribuan santri. Saya tidak bisa membayangkan dan belum mempunyai gambaran sama sekali. Tapi saya sangat antusias.
Berangkat dari Jakarta saya janjian dengan beberapa teman untuk membawa mobil sendiri. Wuih…jarak lebih seribu kilometer bawa mobil sendiri? Yah, saya pernah nyetir sendiri dari Jakarta ke Bali (1983), apa salahnya. Lagipula dengan membawa mobil sendiri akan sangat memudahkan mobilisasi di sana! Benar saja! Pesantren itu terletak di sebuah desa yang jauh dari jalan besar yang menuju ke Banyuwangi. Ini keuntungan bawa mobil karena bisa langsung menuju tempat Munas tanpa harus kesulitan mencari alat transportasi menuju desa Asembagus.
Di tempat Munas, panitia menyediakan barak untuk para wartawan, tidur bersama gelaran kasur, mandi ramai-ramai bergantian. Makanan dan minuman diantarkan oleh para santri ke barak wartawan “mbanyu mili”. Kopi jahe yang kental dan dihirup panas-panas langsung terasa menyengat seluruh tubuh. Luarbiasa pelayanan mereka! Tetapi hari pertama saya punya pengalaman yang kurang beruntung. Dari Jakarta saya membawa sandal kulit baru, merk bata. Saya pikir di pesantren kan harus sering copot sepatu, jadi sandal akan lebih praktis. Sore setelah saya pakai keliling melihat-lihat pesantren saya lepas di depan pintu. Esoknya sandal sudah tidak ada! Cilaka, pikir saya. Saya sibuk mencari-cari, teman-teman menegur: “Cari apa mas?” “Sandal”, jawab saya. Lalu saya jelaskan, sandal itu saya siapkan khusus untuk ke sini. Baru dan belum saya pernah pakai. Teman-teman tertawa. “Mas mereka itu biasa mendengar kotbah kyai, yang baik-baik bawa pulang, yang jelek ditinggal sini.”, kata seorang teman. “Lha itu kan isi kotbah terkait perilaku?”, jawab saya. “Yah, sekali-sekali salah mengaplikasi kan gak apa-apa. Sandal yang baik bawa pulang, yang jelek ditinggal di sini. Itu konkret”, sambung teman-teman sambal tertawa.
Saya pikir, ya sudahlah. Mungkin ada yang lebih membutuhkan. Siangnya saya beli sandal jepit. Saya terus meliput! Dalam pengamatan saya, setiap hari ribuan orang dating ke pesantren untuk “ngalab berkah” dari kyai sepuh KH As’ad Samsul Arifin, kyai yang sangat berwibawa dan dicintai umat. Untuk bersalaman harus antre. Sambil bersalaman dan cium tangan mereka memberikan sumbangan untuk munas. Ribuan amplop diterima kyai sampai kantung bajunya berwarna kumel karena selalu digenggam. Uang sumbangan warga ditampung di rumah tamu rumahnya. Nampak ada dua karung berisi uang sumbangan warga. Belum lagi yang nyumbang beras, ayam, kambing, bahkan sapi. Hebat!, itulah kegotongroyongan warga nahdliyin. Mereka dengan sukarela menyumbang apapun dan berapapun untuk penyelenggaraan munas, sebuah peristiwa yang belum tentu 30 tahun sekali diadakan di desa itu. Dan memang munas itu menjadi semacam pasar malam. Penjaja makanan dan minuman, pakaian, mainan dan segala macam perabot rumah tangga berada di sekitar pesantren. Orang-orang NO memang guyub (U ditulis dengan ejaan lama OE, sehingga para nahdliyin menyebutnya NO). Di jaman Soekarno, mereka disebut sebagai kaum sarungan.
Unik. Setelah pembukaan usai dengan kutbah iftitah, peserta langsung dibagi ke komisi-komisi. Para wartawan banyak yang mengikuti persidangan komisi ini karena di situ akan dibahas posisi alim-ulama NU. Waktu itu NU memang sedang berada di ujung tanduk perpolitikan Indonesia. Berfusinya NU ke Partai Persatuan Pembangunan tidak mendapat tempat yang selayaknya. Padahal NU merupakan penyumbang suara terbesar di PPP. Presiden PPP memang KH Idham Khalid, Ketua Umum PBNU tetapi Ketua Umum dipegang HJ Naro. orang MI (Muslimin Indonesia). Presiden hanya memberi legitimasi. Orang-orang NU yang berada di partai dikacaubalaukan oleh Naro dan Presiden Partai tidak bisa apa-apa. Tapi orang-orang yang dekat Presiden Partai mendapat kedudukan yang baik di partai sedangkan yang melawan Naro tidak kebagian. Sampai-sampai tahun 1981 Dr. HM Syaifuddin Zuhri (bapaknya Menteri Agama sekarang) yang waktu itu anggota DPR, bersama dengan tokoh NU lainnya menyatakan NU akan keluar dari PPP.
Nah, itu juga akan dievaluasi dalam Munas Alim Ulama, dan karena itu komisi organisasi menjadi sangat menentukan. Banyak warga nahdliyin dari desa-desa membawa radio tape yang besar-besar untuk merekam persidangan. Banyak orang masuk ke ruangan komisi organisasi sampai akhirnya panitia kewalahan. “Lho ini bagaimana, sidang komisi organisasi kok terbuka?” Akhirnya semua yang tidak berkepentingan diminta keluar. Lalu panitia mengumumkan, “Sidang Komisi Organisasi dinyatakan tertutup. Yang tidak berkepentingan diminta keluar ruangan.” Orang-orang pun termasuk wartawan keluar dari ruangan. Tetapi sebentar kemudian ribut. Sidang yang dinyatakan tertutup itu menggunakan pengeras suara dan suara sidang di ruang tertutup bisa didengar di luar ruangan. Bahkan warga nahdliyin merekamnya. Maka wartawan pun mendapat berita bagus. “Gak apa-apa, salah sedikit mengaplikasikannya”, komentar wartawan sambal tertawa. Itulah uniknya NU.
Berbeda dengan komisi organisasi yang dinyatakan tertutup, komisi hukum dinyatakan terbuka. Banyak kyai di komisi itu. Tetapi tidak ada wartawan yang tertarik untuk mengikuti. Karena walaupun sidangnya dinyatakan terbuka, bahasa pengantarnya Bahasa Arab. Para kyai itu fasih berbahasa Arab. Mereka cas cis cus dengan Bahasa Arab. Tiba-tiba para kyai itu tertawa. Hampir semua tertawa, ada yang senyum-senyum malu. Ini peristiwa yang menarik wartawan. Semua bertanya-tanya dan mendekat. Lalu ada yang bisik-bisik bertanya pada kyai yang duduk di belakang, “Kyai, ini membahas apa to kok pada tertawa?” Lalu kyai itu menjelaskan, “Mbahas selaput dara”. Lha, kok pakai tertawa? “Sampeyan ini bagaimana, kyai-kyai ini tertawa membayangkan bagaimana melakukan operasi, kan mesti diemek-emek”. Ngemek-emek barang haram ya kyai? Ha..ha…ha…meledak pula tawa wartawan. “Asal jangan salah mengaplikasikannya pak kyai”, komentar wartawan.
Di antara wartawan itu ada orang NU, Slamet Efendy Yusuf, Ketua Umum Ansor. Antara jadi wartawan dan humas, begitulah kerjanya. Waktu datang ke pesantren dia naik dokar dari jalan raya. Cukup jauh. Lalu sesampainya di pesantren, dia bertanya kepada kusir dokar, “Sampeyan NU pak?” Jawab kusir dokar, “Iya pak, saya NO. Tapi kuda saya bukan NO pak”. Teman-teman wartawan yang mendengar jawaban itu tertawa. “Kena lo Met”, kata saya. Slamet tertawa-tawa. “Pintar dia Pad, dia ngaku NO tapi kudanya bukan NO. Kalau kudanya juga NO saya gak perlu bayar. Kan sesama nahdliyin harus saling membantu. Tapi dia bilang kudanya bukan NO, artinya kusirnya gak minta bayaran karena sama-sama NU. Tapi kudanya perlu makan…..”. Ha….ha…ha…Kalau ini kusir dokarnya benar. Sesama NU memang wajib saling menolong, tapi kuda memang tak ngerti soal munas, apalagi soal selaput dara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar