Tentang
Burung Pipit Yang Sayapnya Terluka
Seekor burung pipit terbang di tengah badai. Bulunya
basah kuyup dan sayapnya terluka. Lalu berhenti di sebuah ranting di pohon
besar. “Capek”, katanya. Padahal baru setengah jalan ia terbang. Ia harus pulang,
menuju sarangnya. Di sana ada istri dan anak-anaknya.
“Kenapa kau berhenti?”. Tiba-tiba ada suara menyapa.
“Aku capek!”, katanya tanpa menoleh dan peduli siapa
yang menyapa.
“Bukankah kamu harus pulang? Istri dan anakmu menunggu
di sarang”, kata suara itu lagi
“Biar saja. Rasanya capek sekali”
“Tapi di pohon itu banyak ular dan binatang pemangsa”
“Biar saja, lebih baik aku dimangsa ular”.
Hening sejenak, lalu suara itu berkata. “Kenapa kamu
berkata seperti itu? Kamu ingin mati?”
“Yah”
“Ingin mati sekarang?”
“Yah”
“Kenapa?”
“Aku capek. Badai dan angin topan begitu kencang. Aku
tak bisa melawannya. Aku harus mencari makan untuk istri dan anak-anakkua
tetapi aku tidak bisa. Badai dan topan itu menghalangiku. Sayapku terluka dan
aku sudah tidak kuat terbang ke mana-mana”
Hening lagi. Lalu suara itu berkata, “Boleh aku
melihat sayapmu?”
Baru burung pipit itu peduli dan mencari-cari suara.
Sesosok tubuh samar-samar berdiri di depannya. Tangannya yang kuat memegangnya.
Sayapnya dibuka dan dibelai lembut. “Bagaimana rasanya? Sayapmu masih sakit?”
“Tidak. Aku merasa kuat”.
“Kalau begitu pulanglah. Jangan merasa putus asa.
Hidupmu masih panjang dan kamu harus menjalaninya”.
Burung pipit itu mengepakkan sayapnya. Terasa kuat dan
tidak sakit lagi. Matanya kembali berbinar. “Terima kasih”, katanya sambal
terbang. Badai itu diterjangnya.
Sampai di sarangnya, anak-anaknya mencicit, meminta
makan. Tetapi burung pipit itu tidak membawa setangkai padi pun. Ia sedih,
tidak berhasil membawa makanan untuk anaknya. Istrinya menatapnya dengan
terharu. Ia tahu suaminya telah berusaha mencari makan tetapi tidak berhasil.
“Lapar…lapar…lapar”, cicit anak-anaknya. Sang ibu menimang mereka, membelai
dengan kasih sayang. “Tidurlah dahulu. Hari ini tidak ada makanan, tetapi
percayalah besok akan ada makanan. Ayahmu sudah berusaha tapi hari ini memang
tidak berhasil. Itu bukan salah ayahmu. Alam sedang mengganas, tidak ramah
dengan ayahmu.”
Sang ayah terharu mendengar kata-kata istrinya. Ia
berdiri di luar sarang, di dahan kecil. Ia sedih. Hari itu ia tidak berhasil.
Badai dan topan mengganas di mana-mana dan sawah ladang tak begitu jelas
kelihatan. Batang padi pada rubuh dan tergenang air. Ia tidak bisa mendapatkan
setangkai padi pun untuk anak-anaknya. Ia ingin menceritakan kejadian yang
dialaminya tadi pada istrinya, tetapi tiba-tiba suara itu datang lagi.
“Kamu masih sedih?”
Burung pipit itu tidak menghiraukannya. Pikirnya,
“siapa dia? Bukankah dia itu yang menolong di tempat yang jauh? Kenapa
tiba-tiba berada di sini?
“Kenapa kamu sedih? Bukankah sayapmu sudah sembuh dan
tubuhmu sudah kuat?”
“Bagaimana tidak sedih. Aku tidak berhasil membawa
makanan buat anak-anakku. Mereka kelaparan. Kalau besok ada badai seperti ini
lagi, kami tidak akan bertahan hidup”
“Begitukah?”
“Ya, begitu”
Burung pipit itu sudah benar-benar putus asa. Istri
dan anak-anaknya sudah tidur. Tetapi bagaimana esok hari? Bisakah mereka
bertahan dalam kelaparan?
Tiba-tiba suara itu berkata, “Percayakah kamu
kepada-Ku?”
Burung pipit itu menengok ke arah suara. Pandangannya
kosong. “Percaya? Percaya apa?”
“Aku akan melindungimu dan merawat hidupmu”.
Burung pipit itu terdiam. “Merawat dan melindungi?
Bagaimana caranya?”
“Kenapa aku harus percaya kepada-Mu? Kamu akan
melindungi dan merawat hidupku? Bagaimana caranya?”
“Yah, AKU akan melindungi dan merawat hidupmu”
“Kalau begitu, bawakan aku dan anak-anakku setangkai
padi, biar kami makan malam ini. Biar kami tidak kelaparan dan mati”
“Kamu tidak akan mati hanya karena lapar”
“Bagaimana kamu tahu?”
“AKULAH yang berkuasa atas kehidupan”.
“Ah, aku tidak tahu Engkau siapa. Tetapi supaya aku
percaya kepada-MU, biarkan aku, istri dan anak-anakku tidur nyenyak malam ini,
dan besok pagi ketika matahari terbit berikan aku kekuatan untuk terbang
mencari makanan buat istri dan anak-anakku”.
Berkata begitu, pipit langsung tertidur. Kakinya yang
kecil mencengkeram erat dahan di sebelah sarangnya. Sampai pagi. Ketika
matahari mulai menampakkan diri, pipit terbangun. Istri dan anak-anaknya masih
tidur pulas. Dikepakkannya sayapnya. Tubuhnya merasa kuat. Ia bangunkan
istrinya, “aku mau terbang mencari makan. Jagalah anak-anak kita”. Dan ia
melesat terbang. Dari atas dicarinya sawah dan ladang. Ada sebidang sawah tak
tertutup air. Pipit itu menukik dan makan padi yang bernas menguning. Setelah
kenyang ia potong setangkai padi dan ia bawa terbang dengan paruhnya. Hatinya
gembira. Hari ini istri dan anak-anaknya bisa makan. Itulah kebanggaannya
sebagai kepala keluarga. Sesampainya di sarang ia sodorkan padi yang bernas di
depan istrinya. Istri dan anak-anaknya terbangun. Hatinya bergembira memperoleh
makanan.
Ia saksikan istrinya menyuapi anak-anaknya. Ia
berharap suara itu datang lagi dan menyapanya. Ia ingin mengucap syukur dan
menyatakan bahwa ia percaya. Yah, ia percaya kepada-NYA, Penguasa Kehidupan! Ya
Tuhan, aku percaya! Tolonglah aku yang tidak percaya ini .-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar