Wayang Gemblung - Grenengane Gareng




WAYANG GEBLUNG - Grenengane Gareng



Ini memang wayang gemblung. Ki Dalang memulai adegan pertama dengan menyambar Gareng. Tanpa jejer kedhaton dalam pathet 6, tetapi langsung pathet 9, dan begitu Kayon dibedhol, Gareng langsung leyeh-leyeh  sambal grenengan: “Wong edan! Masak Ksatriyan Pringgodani Kidul (KPK) mau dipindahkan ke Kutub Utara supaya beku. Memang mau dibuat segar dingin apa? Kalau air dibuat es campur sirup enak! Tapi kalau ksatriyan dibuat es. Apa klakon jualan Es KPK? Gemblung tenan! Kalau Ksatriyan itu diboyong ke kutub utara, apa gak semakin merajalela itu grombolan pencoleng yang bersekongkol di dewan penjarah rupiah! Dasar wong edan! Dhuh dewa jawata gung…nyuwun apura”

Makbedunduk! Tiba-tiba Bethara Narada sudah berdiri di depannya. Gareng terkejut.

Legenjong…legenjong….kanthong bolong ditambal gemblong. Kernapa kamu memanggil-manggil dewa? Kamu itu sedang ngapain, Nala Gareng?” tanya Narada.

“Adhuh pukulun, ngejawantah kok tiba-tiba? Mbok direncanakan dulu, biar saya siap-siap ,menyambut dengan perayaan, wong pukulun itu “yang terhormat”

“Jangan nyindir kamu, Nala Gareng. Yang butuh sebutan “yang terhormat” itu para wakil rakyat. Bisa marah mereka kalau tidak pakai embel-embel “yang terhormat”.

Gareng tertawa terkekeh-kekeh.

“Pukulun itu ada-ada saja. Jabatannya terhormat, tetapi kalau perilakunya sehari-hari hanya menjarah rupiah dan membohongi para kawula, di taruh mana kehormatannya hahaha……”.

Bethara Narada ikut tertawa. Badannya sampai terguncang. “Legenjong..legenjong…kerjanya bohong sama nyolong tetapi sombong. Kamu benar Nala Gareng. Tetapi jangan keras-keras. Kalau kedengaran yang bersangkutan bisa marah mereka”.

(Ki dalang minta petugas mengecilkan suara loudspeaker supaya gak kedengaran sampai negeri seberang).

“Pukulun, terus terang saya memang lagi mikir ulah para penjarah rupiah. Mereka mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara supaya beku, jadi es. Lha apa itu tidak berarti memberikan ruang bagi para penjarah untuk berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat?”

“Hehehe… dewan penjarah rupiah itu isinya memang bangsanya penjarah, begal, rampok, kecu, makanya usulannya aneh-aneh. Sekarang mereka gerah karena tidak bisa menjarah, makanya omongannya gak karu-karuan”, ujar Bethara Narada.“Tetapi orang-orang seperti kamu yang hanya punakawan memang harus sabar, Nala Gareng”

“Sabar bagaimana pukulun. Orang-orang yang seharusnya berada di barisan Pandawa, membela keberadaan Ksatriyan Pringgodani Kidul, lha kok bersekongkol dengan para kurawa? Ini bagaimana? Itu kan bikin tertawa Sengkuni. Oh iya pukulun, Sengkuni sekarang di mana ya? Kok gak ada suaranya”.

“Sengkuni sedang sembunyi Nala Gareng. Tetapi siapa yang mau memboyong Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara?”

“Wah pukulun Narada pura-pura tidak tahu atau apa?”

“Nala Gareng, sebagai dewa saya memang melihat kekacauan yang luar biasa. Karena itu siapa yang kamu maksudkan, tolong jelaskan”

“Itu lho pukulun, Haryo Yaksoningratan, lha kok tiba-tiba mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Selatan ke kutub selatan supaya beku. Ini kan kelanjutan dari ulah Maeso Pasirewon yang gayanya seperti Dursasana. Apa itu memang pendapat resmi Padepokan Durgandini Ibu Prameswari? Kok sepertinya mereka memang mau menyudutkan Prabu Yudistira? Apa mau menjodohkan Yudistira dengan sang Prameswari?”

“Lho…lho…lho kok seperti itu to Nala Gareng?”

“Lha saya ini malah mau tanya pukulun, je. Kalau berlarut-larut saya akan menggugat kahyangan. Saya mau kerahkan para punakawan untuk demo di kahyangan. Emangnya cuma grombolan kathok komprang yang bisa demo”.

“He…he…he…. Nala Gareng, tidak usah ikut-ikutan demo. Prabu Yudistira sudah menunjukkan taringnya. Kumisnya sedang diplintir-plintir. Walaupun kelihatan lucu, tetapi kayaknya dia marah karena Amarta mau diacak-acak. Grombolane kathlok komprang sedang mendelep. Mereka lagi ndhelik karena ketahuan bahwa mereka pemegang saham PPUK”

“Apa itu PPUK, pukulun?”

“Perusahaan Penyedia Ujaran Kebencian. Banyak bukti siapa-siapa pemegang saham perusahaan itu”

“Iya pukulun. Photonya tersebar di mana-mana, tertawa-tawa bareng tetapi mereka pada mengaku gak kenal dengan agen perusahaan itu? Lha wong photo bareng rame-rame kok ngakunya gak kenal? Memangnya mereka itu selebriti kacangan, diajak photo orang yang gak kenal dilayani”

“Lha biasa to Nala Gareng. Kalau sudah ada yang ketangkep semua ngaku gak kenal. Lihat saja kasus penjarahan rupiah. Siapa yang mengaku kenal dengan orang yang naruh gong? Gak ada to. Padahal orang-orang itu ngangkat gongnya sama-sama trus ditaruh di sana.”

“Pukulun itu bicara apa to? Kok ada yang naruh gong, ada yang ngangkat. Apa mereka itu nayaga? Kalau nayaga mestinya nabuh gamelan. Tidak naruh gong……. Saya itu lagi grenengan soal Ksatriyan Pringgodani Kidul yang akan diboyong ke Kutub Utara supaya beku. Lha kok pukulun malah ngambra-ambra gak karuan, nyinggung-nyinggung naruh gong”

"Lha jangan salah Nala Gareng. Semua itu ada kaitannya. Kamu lihat, wakil ketua dewan penjarah rupiah itu pada mbelani Sarpa Naka. Ada yang kirim surat ke punggawa Ksatriyan Prionggodani Kidul supaya pemeriksaan Sarpa Naka ditunda. Padahal mereka tidak berasal dari ksatriyan yang sama. Yang dari ksatriyan Gendrayana minta supaya Sarpa Naka jangan dipriksa dulu. Ini kan aneh. Tetapi wong mereka itu satu grombolan. Malah ada wakil yang di ksatriyannya diusir, tidak diakui sekarang entah dari ksatriyan kabur kanginan apa ksatriyan cleret tahun….”

“Lho, ksatriyan cleret tahun itu apa to pukulun?”

“Lha wong dia itu sudah dibuang dari ksatriyan tetapi masih magrok di cakruk dan kerjanya bikin rebut sampe mulutnya mencong-mencong, kalau bengesan sampai pipi. Itu kan dari ksatriyan angin ribut, bahasa jawanya cleret tahun. Itu satu grombolan, Nala Gareng. Dulu mereka itu datang ke atas angin ketika Burisrawa mencalonkan diri jadi raja”.

Gareng manggut-manggut, baru mengerti kait-mengkaitnya satu cerita dengan cerita yang lain.

“Lha kalau soal pengungsi dari negeri Burmaningratan itu bagaimana pendapat pukulun? Ada yang usul supaya disiapkan satu pulo untuk menampung mereka” Tanya Nala Gareng.

“Eh….kenthos gembol monyor-monyor …. Itu usulannya orang keblinger. Cekak nalarnya. Cekak seperti model celananya. Lha kalau mereka ditampung trus nanti mereka tidak mau mendukung ksatriyannya, kalau mati gak dishalatkan. Lha kepriwe jal……?”

Gareng kaget. Langsung dia berdiri di kursi sambal teriak, “Ki dalang..ki dalang, tancep kayon saja………………..” Ki dalang langsung mancal kothak trus tancep kayon. Gareng dan Narada ditutupi kayon. Dasar wayang gemblung, wong masih pathet 9 kok tancep kayon. Mestinya selesaikan dulu grenengannya, naik pathet manyura, perang brubuh trus ayak-ayak pamungkas sambil golekan jejogedan, baru tancep kayon. Uh, dasar!-







WAYANG GEBLUNG - Grenengane Gareng



Ini memang wayang gemblung. Ki Dalang memulai adegan pertama dengan menyambar Gareng. Tanpa jejer kedhaton dalam pathet 6, tetapi langsung pathet 9, dan begitu Kayon dibedhol, Gareng langsung leyeh-leyeh  sambal grenengan: “Wong edan! Masak Ksatriyan Pringgodani Kidul (KPK) mau dipindahkan ke Kutub Utara supaya beku. Memang mau dibuat segar dingin apa? Kalau air dibuat es campur sirup enak! Tapi kalau ksatriyan dibuat es. Apa klakon jualan Es KPK? Gemblung tenan! Kalau Ksatriyan itu diboyong ke kutub utara, apa gak semakin merajalela itu grombolan pencoleng yang bersekongkol di dewan penjarah rupiah! Dasar wong edan! Dhuh dewa jawata gung…nyuwun apura”

Makbedunduk! Tiba-tiba Bethara Narada sudah berdiri di depannya. Gareng terkejut.

Legenjong…legenjong….kanthong bolong ditambal gemblong. Kernapa kamu memanggil-manggil dewa? Kamu itu sedang ngapain, Nala Gareng?” tanya Narada.

“Adhuh pukulun, ngejawantah kok tiba-tiba? Mbok direncanakan dulu, biar saya siap-siap ,menyambut dengan perayaan, wong pukulun itu “yang terhormat”

“Jangan nyindir kamu, Nala Gareng. Yang butuh sebutan “yang terhormat” itu para wakil rakyat. Bisa marah mereka kalau tidak pakai embel-embel “yang terhormat”.

Gareng tertawa terkekeh-kekeh.

“Pukulun itu ada-ada saja. Jabatannya terhormat, tetapi kalau perilakunya sehari-hari hanya menjarah rupiah dan membohongi para kawula, di taruh mana kehormatannya hahaha……”.

Bethara Narada ikut tertawa. Badannya sampai terguncang. “Legenjong..legenjong…kerjanya bohong sama nyolong tetapi sombong. Kamu benar Nala Gareng. Tetapi jangan keras-keras. Kalau kedengaran yang bersangkutan bisa marah mereka”.

(Ki dalang minta petugas mengecilkan suara loudspeaker supaya gak kedengaran sampai negeri seberang).

“Pukulun, terus terang saya memang lagi mikir ulah para penjarah rupiah. Mereka mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara supaya beku, jadi es. Lha apa itu tidak berarti memberikan ruang bagi para penjarah untuk berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat?”

“Hehehe… dewan penjarah rupiah itu isinya memang bangsanya penjarah, begal, rampok, kecu, makanya usulannya aneh-aneh. Sekarang mereka gerah karena tidak bisa menjarah, makanya omongannya gak karu-karuan”, ujar Bethara Narada.“Tetapi orang-orang seperti kamu yang hanya punakawan memang harus sabar, Nala Gareng”

“Sabar bagaimana pukulun. Orang-orang yang seharusnya berada di barisan Pandawa, membela keberadaan Ksatriyan Pringgodani Kidul, lha kok bersekongkol dengan para kurawa? Ini bagaimana? Itu kan bikin tertawa Sengkuni. Oh iya pukulun, Sengkuni sekarang di mana ya? Kok gak ada suaranya”.

“Sengkuni sedang sembunyi Nala Gareng. Tetapi siapa yang mau memboyong Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara?”

“Wah pukulun Narada pura-pura tidak tahu atau apa?”

“Nala Gareng, sebagai dewa saya memang melihat kekacauan yang luar biasa. Karena itu siapa yang kamu maksudkan, tolong jelaskan”

“Itu lho pukulun, Haryo Yaksoningratan, lha kok tiba-tiba mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Selatan ke kutub selatan supaya beku. Ini kan kelanjutan dari ulah Maeso Pasirewon yang gayanya seperti Dursasana. Apa itu memang pendapat resmi Padepokan Durgandini Ibu Prameswari? Kok sepertinya mereka memang mau menyudutkan Prabu Yudistira? Apa mau menjodohkan Yudistira dengan sang Prameswari?”

“Lho…lho…lho kok seperti itu to Nala Gareng?”

“Lha saya ini malah mau tanya pukulun, je. Kalau berlarut-larut saya akan menggugat kahyangan. Saya mau kerahkan para punakawan untuk demo di kahyangan. Emangnya cuma grombolan kathok komprang yang bisa demo”.

“He…he…he…. Nala Gareng, tidak usah ikut-ikutan demo. Prabu Yudistira sudah menunjukkan taringnya. Kumisnya sedang diplintir-plintir. Walaupun kelihatan lucu, tetapi kayaknya dia marah karena Amarta mau diacak-acak. Grombolane kathlok komprang sedang mendelep. Mereka lagi ndhelik karena ketahuan bahwa mereka pemegang saham PPUK”

“Apa itu PPUK, pukulun?”

“Perusahaan Penyedia Ujaran Kebencian. Banyak bukti siapa-siapa pemegang saham perusahaan itu”

“Iya pukulun. Photonya tersebar di mana-mana, tertawa-tawa bareng tetapi mereka pada mengaku gak kenal dengan agen perusahaan itu? Lha wong photo bareng rame-rame kok ngakunya gak kenal? Memangnya mereka itu selebriti kacangan, diajak photo orang yang gak kenal dilayani”

“Lha biasa to Nala Gareng. Kalau sudah ada yang ketangkep semua ngaku gak kenal. Lihat saja kasus penjarahan rupiah. Siapa yang mengaku kenal dengan orang yang naruh gong? Gak ada to. Padahal orang-orang itu ngangkat gongnya sama-sama trus ditaruh di sana.”

“Pukulun itu bicara apa to? Kok ada yang naruh gong, ada yang ngangkat. Apa mereka itu nayaga? Kalau nayaga mestinya nabuh gamelan. Tidak naruh gong……. Saya itu lagi grenengan soal Ksatriyan Pringgodani Kidul yang akan diboyong ke Kutub Utara supaya beku. Lha kok pukulun malah ngambra-ambra gak karuan, nyinggung-nyinggung naruh gong”

"Lha jangan salah Nala Gareng. Semua itu ada kaitannya. Kamu lihat, wakil ketua dewan penjarah rupiah itu pada mbelani Sarpa Naka. Ada yang kirim surat ke punggawa Ksatriyan Prionggodani Kidul supaya pemeriksaan Sarpa Naka ditunda. Padahal mereka tidak berasal dari ksatriyan yang sama. Yang dari ksatriyan Gendrayana minta supaya Sarpa Naka jangan dipriksa dulu. Ini kan aneh. Tetapi wong mereka itu satu grombolan. Malah ada wakil yang di ksatriyannya diusir, tidak diakui sekarang entah dari ksatriyan kabur kanginan apa ksatriyan cleret tahun….”

“Lho, ksatriyan cleret tahun itu apa to pukulun?”

“Lha wong dia itu sudah dibuang dari ksatriyan tetapi masih magrok di cakruk dan kerjanya bikin rebut sampe mulutnya mencong-mencong, kalau bengesan sampai pipi. Itu kan dari ksatriyan angin ribut, bahasa jawanya cleret tahun. Itu satu grombolan, Nala Gareng. Dulu mereka itu datang ke atas angin ketika Burisrawa mencalonkan diri jadi raja”.

Gareng manggut-manggut, baru mengerti kait-mengkaitnya satu cerita dengan cerita yang lain.

“Lha kalau soal pengungsi dari negeri Burmaningratan itu bagaimana pendapat pukulun? Ada yang usul supaya disiapkan satu pulo untuk menampung mereka” Tanya Nala Gareng.

“Eh….kenthos gembol monyor-monyor …. Itu usulannya orang keblinger. Cekak nalarnya. Cekak seperti model celananya. Lha kalau mereka ditampung trus nanti mereka tidak mau mendukung ksatriyannya, kalau mati gak dishalatkan. Lha kepriwe jal……?”

Gareng kaget. Langsung dia berdiri di kursi sambal teriak, “Ki dalang..ki dalang, tancep kayon saja………………..” Ki dalang langsung mancal kothak trus tancep kayon. Gareng dan Narada ditutupi kayon. Dasar wayang gemblung, wong masih pathet 9 kok tancep kayon. Mestinya selesaikan dulu grenengannya, naik pathet manyura, perang brubuh trus ayak-ayak pamungkas sambil golekan jejogedan, baru tancep kayon. Uh, dasar!-




Kawruh Budaya Jawa - Mitoni



Kawruh Budaya Jawa - Mitoni



Mitoni atau Tingkeban





Pengertian Umum



            MITONI, adalah upacara (ritual) tujuh bulanan usia kandungan (untuk kandungan anak pertama). Biasa disebut dengan istilah tingkeban. Kenapa tujuh? Kenapa tidak satu, dua, atau tiga? Dalam perhitungan orang Jawa, kandungan yang berusia tujuh bulan itu penting karena dianggap telah cukup umur, yaitu wujud janin sudah lengkap. Dalam ilmu kebidanan hal itu juga dibenarkan, yaitu bahwa janin dalam usia tujuh bulan sudah siap untuk lahir. Dengan demikian   seorang perempuan yang kandungannya berusia tujuh bulan, telah siap melahirkan bayinya. Karena itu penting baginya untuk dimohonkan keselamatan dari Penguasa Kehidupan, agar proses kelahirannya nanti berjalan lancar. Sebenarnya dalam adat Jawa, juga ada upacara satu bulan usia kandungan, dua bulan, dan seterusnya. Bahkan ada upacara 9 bulan yang disebut Procotan. Tetapi upacara-upacara itu biasanya dilakukan kecil-kecilan dan hanya dihadiri keluarga.

            Upacara mnitoni dalam budaya Jawa, ditandai dengan memandikan perempuan yang hamil dengan mengguyur seluruh tubuh dari ubun-ubun hingga kaki (yang disebut wuwung). Tujuan upacara itu selain untuk membersihkan diri juga disertai harapan anak yang dikandung dapat lahir dengan selamat. Itulah inti upacara mitoni.

            Upacara mitoni diadakan pertama kali atas petunjuk Prabu Jayabaya di Kediri. Menurut ceritanya, waktu itu ada sepasang suami isteri yang sangat mengharapkan anak. Sang suami bernama Sedya dan isterinya Niken Satingkeb. Sudah sembilan kali isterinya hamil tetapi selalu keguguran. Mendengar hal itu Prabu Jayabaya yang dikenal sangat dekat dengan rakyat dan dapat mengetahui hal-hal yang gaib (di luar alam manusia), menyuruh Sedya dan Niken Satingkeb menjalani laku. Wujud laku itu adalah mandi air tawar dengan mengguyur seluruh tubuhnya dari ubun-ubun hingga kaki (adus wuwung), pada hari Rabu (Buda) dan Sabtu (Tumpak) pada jam 17.00. Pada usia kehamilan ketujuh bulan, keduanya mandi wuwung dengan air yang diambil dari tujuh sumber (sumur). Sesudah mandi mereka berdua berganti pakaian yang rapi.

               Dalam kehamilannya yang ke sepuluh, pada waktunya bayi yang dikandung Niken Satingkeb lahir dalam keadaan selamat. Sejak saat itu rakyat dianjurkan untuk melakukan ritual tingkeban (tujuh bulanan) agar bayi dalam kandungan selamat.

               Jadi sebenarnya upacara mitoni adalah puncak dari laku tadi. Upacara itu kemudian disebut dengan ningkebi atau tingkeban (dari nama Niken Satingkeb). Dalam upacara mitoni, yang menjadi pusat perhatian adalah ibu yang sedang hamil. Inti upacara mitoni adalah memohon keselamatan kepada Tuhan agar bayi yang dikandung oleh si ibu lahir dengan selamat, demikian juga orang tuanya diberi keselamatan (kayuwanan). 



Ubarampe Upacara Tingkeban   



            Untuk acara tingkeban itu ubarampe yang harus disediakan antara lain:

  1. air dari tujuh sumber (sumur, tuk, pancuran, kali, tempuran, sendhang, belik, atau tujuh sumur)
  2. kembang setaman (7 jenis kembang)
  3. dua buah cengkir gadhing yang digambari Wisnu dan Dewi Sri (ada yang mengatakan gambar Kamajaya dan Kama Ratih),
  4. busana tujuh macam
  5. buwangan (sesaji 7 macam yaitu pecok bakal dan jeroan, kluwak, kemiri, kacang tholo,  brambang bawang, gereh pethek, dan telor ayam). Buwangan itu ditanam di tujuh tempat: kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil (pekiwan), sumur, padangan (tempat menanak nasi atau dapur), patehan atau jayengan (tempat membuat teh),  
  6. Tujuh sajen berupa jodhok (pelita), empluk kluwak atau bumbu-bumbuan, lauk pauk gorengan, jenang tujuh macam yaitu jenang lemu, jenang baro-baro, jenang katul, jenang abang, jenang putih, jenang abang-putih, jenang pliringan; tujuh tumpeng dengan telor tujuh butir; beras, kendhi, uang,m dan sisir; serta pisang raja setangkep.
  7. Makanan untuk slametan terdiri dari 7 macam: a) jajan pasar, b) tujuh macam juadah dan kudapan kacang-kacangan; c) pisang raja setangkep, d) tumpeng, sega asahan, sega golong, sega wuduk lengkap dengan lauk pauknya (terutama ingkung dan kuluban), e) bancakan untuk anak-anak, f) rujak gobet dari 7 macam buah, dan g) takir ponthang (isinya berbagai jenis alat dari logam termasuk perhiasan).



Jalannya Upacara



      Upacara tingkeban biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu Wage (dalam pengertian orang Jawa kata sabtu wage mengandung maksud metune ben age-age, lahirnya segera atau lancar). Orang Jawa selalu cermat dalam memilih kata dan maknanya  (sekarang sering diplesetkan: setu legi – setengah tuwa lemu ginuk-ginuk). 

      Upacara itu terdiri dari 7 macam:  sungkeman, siraman, januran, brojolan, busanan, deganan, dan wilujengan atau slametan.Upacara tersebut dilaksanakan setelah dilakukan serta sesaji diletakkan di trmpat-tempat yang dianggap wingit. Adapun urut-urutan acara adalah:

  1. Sungkeman yaitu ibu yang hamil didampingi suaminya melakukan sungkem kepada orang tua dan orang-orang yang dituakan.
  2. Siraman, yaitu memandikan ibu hamil dengan air bunga setaman. Mula-mula kedua orang tuanya lalu 7 orang ibu yang dituakan. Setelah itu ibu mertuanya memecahkan kendhi yang berisi air di tempat siraman;
  3. januran, memotong janur yang dililitkan di tubuh ibu yang hamil. Jadi sebelum upacara siraman dilakukan, ibu yang hamil dililit janur kuning. Makna warna kuning pada janur itu adalah kayuwanan atau keselamatan.
  4. brojolan, yaitu meluncurkan dua buah cengkir gadhing melalui sela-sela kain yang dipakai. Seperti misalnya memakai sarung, dipegang ujungnya lalu cengkir gadhing itu dijatuhkan dari atas. Cengkir gadhingh itu selam,a siraman sudah diemban oleh seorang ibu yang kemudian diserahkan kepada ibu yang hamil saat akan dipakai upacara;
  5. busanan, memakaikan pakaian yang bersih kepada ibu yang hamil;
  6. deganan, membelah cengkir gadhing yang bergambar kamajaya dan kamaratih. Air degan yang dari cengkir itu diminum suami isteri;
  7. wilujengan adalah upacara slametan (kenduri), dan makan bersama.



               Bagi orang yang berkecukupan harta, upacara tingkeban atau mitoni biasanya disertai upacara besar dilengkapi dengan nanggap wayang. Cerita atau lakon yang ditampilkan biasanya lahirnya tokoh-tokoh idola, misalnya lahirnya Gatotkaca, atau lahirnya Wisanggeni. Dalam nanggap wayang dengan cerita-cerita itu, terkandung harapan  anak yang akan lahir kelak dapat menjadi ksatria idola.

                

Sikap kita



            Bagaimana kita menyikapi permintaan atau warga gereja yang menginginkan dilakukannya upacara mitoni? Dalam PPA GKJ ada semacam petunjuk, yaitu membuang “kerohaniannya” yang tidak sesuai dengan kekristenan. Dulu pernah ada yang mengomentari, sikap ini ambigu atau apalah. Menurut saya gampang saja, kalau ada warga yang bertanya dan mau mengadakan upacara mitoni, lakukan saja. Intinya adalah memohon keselamatan kepada Tuhan. Sedangkan bentuknya bisa dengan bidston atau kebaktian rumah tangga. Tetapi bagaimana kalau ada yang menghendaki dilakukannya upacara  sesaji dan buwangan?

Sebenarnya buwangan dan sesaji itu diletakkan di tempat-tempat tertentu itu karena menurut pemahaman orang Jawa, di tempat-tempat itu ada kekuatan (daya) yang menjadi penjaga. Siapa mereka itu? Bukan siapa-siapa tetapi roh para leluhur yang sudah men-Hyang (mendiang, menjadi Hyang atau berkumpul dengan Hyang). Mereka yang berkumpul dengan Hyang itu lalu ditugasi oleh Hyang menjadi penjaga keturunannya. Hal itu yang memberi bobot pada kesadaran orang Jawa akan asal-usul, sangkan paran (bandingkan dengan orang kudus yang menjadi penjaga di Katholik).

Dulu sebelum masuknya agama Islam, setiap rumah memiliki tempat pamujan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya pada leluhur (seperti yang ada di Bali). Agama Islam di jaman kerajaan Demak, hal itu dianggap bertentangan dengan akidah Islam. Tempat pemujaan pun menghilang dari rumah-rumah orang Jawa. Tetapi gantinya, orang Jawa meletakkan buwangan dan sesaji di tempat-tempat yang dianggap wingit, termasuk di perempatan jalan.

            Tetapi sekarang banyak orang tidak mengerti maknanya dan dianggap memuja setan. Nah, kalau hal itu merepotkan ya tidak perlu diadakan ubarampe yang macam-macam, apalagi pakai buwangan. Pertimbangannya praktis saja: repot! (Tidak perlu diembel-embeli dengan penjelasan yang dogmatis) Sebab kalau tidak tahu kan malah bikin susah

Segala sesuatu yang diatur secara rinci itu sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam, yaitu agar orang yang menyelenggarakan upacara tersebut melaksanakannya dengan serius, cermat dan berkonsentrasi pada permohonan kepada Tuhan akan keselamatan tersebut. Itu intinya! Sebab ketika meracik yang kecil-kecil, seseorang dituntut untuk menyatukan kehendak, manembah dan  memohon kepada Tuhan. Spiritualitas Jawa memaknai segala sesuatu yang dilakukan sebagai panembah. Itu merupakan kekayaan yang seharusnya dikembangkan oleh Gereja. (mBah MO dari berbagai sumber)




Kawruh Budaya Jawa – Manton



Kawruh Budaya Jawa – Manton



Beberapa Pengertian Dalam Acara Manton 




Salah satu kebahagiaan orang tua adalah apabila seseorang dapat mengantarkan anaknya melangsungkan perkawinan. Dalam alam budaya Jawa, mengantarkan anak melangsungkan perkawinan bahkan merupakan kewajiban. Maka menyelenggarakan upacara manton juga disebut melaksanakan dharmaning asepuh.

Ada beberapa sebutan yang dikenakan pada orang tua yang mengantarkan anaknya. Salah satu sebutannya adalah manton. Manton adalah hajatan mengawinkan anak perempuan. Ada yang menyebut mantu, sehingga mantu memiliki dua pengertian yaitu hajatan mengawinkan anak perempuan dan anak laki-laki yang menjadi suami anak yang dikawinkan. Tetapi yang benar untuk hajatan adalah manton, berasal dari kata mantu.

Dalam penafsiran salah kaprah (jarwo dhosok), kata mantu sering ditafsirkan sebagai sing dieman metu. Dalam konteks masyarakat Jawa jaman dulu, anak perempuan selalu dipingit, atau “disimpan” di dalam rumah sebagai harta yang sangat berharga.  Anak perempuan tidak diperbolehkan bergaul dengan sembarang orang, atau pergi ke sembarang tempat tanpa pengawalan. Perkawinan anak perempuan di usia muda (bahkan belum mengalami menstruasi) merupakan hal yang biasa. Di daerah pedesaan bahkan anak-anak perempuan berusia 12 tahun sudah banyak yang dikawinkan. Anak-anak itu disayang (dieman) oleh orang tuanya karena akan mendatangkan kebahagiaan bagi keluarganya, selain mendatangkan kekerabatan yang lebih luas, dari rahimnya akan lahir anak-anak dan anak identik dengan rejeki (berkat).

Dalam pemahaman seperti itu anak perempuan menjadi “barang berharga yang sangat disayang (dieman), dan hanya boleh ke luar rumah setelah ada yang memilikinya yaitu suami. Karena itu manton merupakan hajatan orang tua pengantin perempuan.Dalam pengertian seperti itu, orang tua yang mengantarkan anak laki-lakinya melangsungkan perkawinan disebut ngentasake (mengentaskan). Kata itu berasal dari kata entas yaitu keluar dari air (berendam). Jadi orang tua dari pihak laki-laki tidak melakukan upacara manton.

Memang kadangkala ada hajatan perkawinan diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki, tetapi di Jawa hal itu tidak umum. Upacara perkawinan yang diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki biasanya terjadi karena beberapa hal.

      Pertama, anak gadis yang sudah tinggal di rumah laki-laki sebelum mereka menikah. Sebutan untuk itu adalah ngambruk. Dalam kehidupan masyarakat ngambruk  dinilai sebagai tindakan yang melanggar tatakrama sosial, namun dalam kenyataannya keadaan seperti itu sering terjadi. Penyebab ngambruk adalah orang tua anak perempuan tidak setuju anaknya dinikahi laki-laki yang pilihan anaknya (atau dipaksakan oleh orang lain tetapi anak perempuannya bersedia), sehingga anak gadisnya melarikan diri dari rumah dan ngambruk di rumah laki-laki pujaannya.

      Apabila hal itu terjadi maka orang tua gadis itu akan mencoret anaknya dari daftar ahli warisnya sebagai tanda kemarahannya. Ngambruk berasal dari kata dasar ambruk, yang berarti roboh atau tumbang. sesuatu yang berdiri tegak tiba-tiba tidak tegak lagi.

Kedua, upacara perkawinan (panggih dan ijab) yang dilaksanakan oleh pihak (orang tua) pengantin laki-laki itu karena ada kalanya pengantin putri tidak lagi memiliki orang tua, atau tidak bisa melaksanakan mantu karena sesuatu hal. Untuk keadaan seperti itu mantu dilaksanakan oleh pihak pengantin laki-laki. Upacara mantu seperti itu disebut  dhaup triman.

Selain dhaup triman, ada perkawinan yang disebut rabi triman yaitu seorang laki-laki yang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang merupakan pemberian atau hadiah dari raja atau bisa juga anak atau cucu raja. Dalam hal itu triman memiliki pengertian pemberian (yang diterimakan).

Menurut adat kraton, seorang anak atau cucu (perempuan), keluarga kerajaan apabila akan melangsungkan perkawinan dengan orang di luar kraton harus keluar dari lingkungan kraton. Karena harus keluar dari kraton, tidak mungkin perkawinan dilakukan oleh pihak perempuan, maka pelaksanaannya dilakukan oleh pihak laki-laki, walaupun pihak kraton merestui perkawinan tersebut..

Lawan kata dari ngambruk adalah ngurung. Yang disebut ngurung karena anak laki-laki (calon pengantin) sudah tinggal di rumah orang tua gadis yang dicintainya sebelum pernikahan. Mengenai sebab-sebab terjadinya keadaan ini sama dengan ngambruk, tetapi terjadi pada pihak laki-laki. Dalam masyarakat Jawa, keadaan seperti itu sering menjadi gunjingan masyarakat sekitarnya karena tidak sesuai dengan adat istiadat. Namun ada masyarakat yang menganggapnya sebagai sebagai suatu keharusan bahwa anak laki-laki yang akan kawin dengan seorang gadis sudah tinggal serumah terlebih dahulu di rumah orang tua si gadis, yang disebut magangan. Adat yang seperti itu berlaku di masyarakat Samin.



Proses Lamaran



Perkawinan di Jawa pada jaman dahulu terjadi dalam sebuah proses yang panjang. Dalam adat Jawa dulu, karena anak perempuan selalu berada dalam pingitan (dipingit), anak laki-laki tidak dapat leluasa bergaul dengan anak perempuan. Apabila tiba waktunya seorang anak laki-laki ingin menikah, maka yang dapat dilakukan hanyalah mencari kabar tentang orang-orang yang memiliki anak perempuan yang sudah gadis. Setelah memperoleh kabar bahwa di suatu tempat ada seorang anak perempuan yang sudah gadis, maka anak laki-laki itu menyatakan kepada orang tuanya akan keinginannya untuk meminang gadis yang dimaksud.

Langkah pertama yang akan dilakukan adalah nontoni,  yaitu proses melihat (mengecek) atau menyaksikan anak gadis yang ingin dipinang. Untuk melakukan pengecekan mengenai kabar tersebut sekaligus meminang, orang tua anak laki-laki itu akan mengutus congkok. Seorang congkok harus pandai berbicara dan pandai menilai keadaan seseorang dan keluarganya.

Arti kata congkok adalah penyangga. Dalam proses perkawinan utusan yang disebut congkok tersebut berfungsi sebagai penyangga perkawinan yaitu mewakili orang tua anak laki-laki untuk meminang seorang gadis. Tugas congkok antara lain: a) menjajagi kemungkinan mempertemukan kepentingan keluarga dari anak laki-laki dengan keluarga anak perempuan; b) memperkenalkan keadaan anak laki-laki kepada keluarga orangtua gadis, dan sebaliknya; c) mewakili keluarga anak laki-laki untuk meminang anak gadis yang dimaksud; d) membantu kedua keluarga dalam hal perjodohan pemuda dengan gadis yang dimaksud.

Apabila orang tua gadis itu setuju untuk menerima maksud kedatangan congkok untuk meminang  anaknya, orang tua gadis lalu menyuruh anak gadis yang dimaksud untuk menghidangkan minuman kepada tamu. Saat itulah congkok melihat dan memberikan penilaian terhadap gadis yang dimaksud. Hasil pengamatannya itulah yang harus dilaporkan kepada orang tua anak laki-laki. Salah satu hal penting yang harus diperoleh oleh congkok tersebut adalah hari lahir dan weton si gadis dan latarbelakang keluarganya. Hal itu dianggap penting karena akan digunakan sebagai dasar menghitung keberuntungan masa depan rumah tangga yang baru itu. Dalam hal ini, primbon menjadi pegangan utama dalam menghitung peruntungan.

Setelah melalui percakapan yang panjang, dengan berbagai pertimbangan yang matang termasuk cara-cara menyiasati hal-hal yang kurang baik manakala ada ketidakcocokan dalam mencocokkan perhitungan hari kelahiran (petung weton) maka congkok tersebut akan kembali kepada orang tua anak perempuan itu untuk melakukan lamaran. Upacara lamaran berisi permintaan dari utusan keluarga laki-laki kepada orang tua seorang gadis. Tujuan lamaran adalah meminta ijin dari orang tua agar anak gadisnya dipinang oleh anak laki-laki tersebut. Maka proses selanjutnya adalah persiapan-persiapan menuju perkawinan.

Lamaran bisa dilakukan secara langsung melalui congkok, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara tertulis melalui surat. Jaman dulu, jarang dilakukan lamaran melalui surat. Selain bahasa tulis yang masih jarang digunakan, proses lamaran yang dilakukan secara langsung (lisan) akan memperoleh jawaban langsung pula.

Setelah lamaran diterima maka pihak laki-laki harus memberikan tanda ikatan yang disebut peningset. Peningset itu diserahkan pihak calon penganten laki-laki kepada pihak calon penganten perempuan pada waktu yang telah ditentukan, dengan disaksikan tamu-tamu yang diundang oleh pihak tuan rumah. Biasanya tamu yang diundang hanya handai taulan dan tetangga di sekitar rumah. Adapun cincin yang ada dalam hantaran, saat itu juga dikenakan oleh kedua pengantin dalam acara tukar cincin.

Peningset diberikan oleh pihak laki-laki sebagai tanda ikatan (pengikat) bahwa dia benar-benar akan meminang gadis yang dimaksud, sekaligus tanda bahwa gadis itu telah dipinang. Peningset juga disebut tukon atau pitukon. Namun kata tukon atau pitukon jarang digunakan karena memiliki konotasi negatif. Sebab kata tukon atau pitukon berasal dari kata dasar tuku yang artinya beli.

Tukon atau pitukon berarti sarana untuk membeli. Adapun peningset itu terdiri dari pakaian penganten perempuan lengkap, cincin emas, pakaian untuk nenek orang tua penganten perempuan, uang yang biasanya merupakan sumbangan untuk hajatan, bahan mentah makanan (abon-abon).

Kelengkapan peningset disebut sanggan peningset, adalah jajan pasar lengkap, pisang ayu setangkep (dua sisir pisang raja), sirih yang  tulang daunnya bertemu (suruh ayu temu ros), tebu hitam (tebu wulung), jeruk yang bulat tidak cacat (jeruk gulung), nasi berbentuk bulat (sega golong), dan sepasang kelapa kuning (klapa gadhing). Sanggan peningset itu dibawa serta dalam upacara singsetan.



Hajatan



Setelah proses lamaran dan singsetan, maka giliran pihak perempuan yang mulai sibuk. Untuk mempersiapkan perkawinan, banyak hal yang harus dipersiapkan termasuk mencari hari yang baik untuk melaksanakan hajatan.Dalam mencari hari yang baik untuk hajatan itu. Kini giliran orang tua calon pengantin perempuan yang harus melakukan perhitungan (petung) berdasarkan primbon. Biasanya bulan-bulan yang disengker adalah bulan Pasa dan Sura. Karena itu banyak hajatan dilangsungkan pada bulan Ruwah dan Besar yaitu menjelang bulan-bulan sinengker itu. Banyak orang percaya hajatan di bulan Sura akan mendatangkan petaka.

Bagi orang Jawa bulan Sura dianggap sebagai bulan yang wingit. Kepercayaan itu berasal dari Sultan Agung ketika mula memperkenalkan tahun Jawa yang merupakan perubahan dari tahun Saka Sultan Agung mengubah sistem penanggalan tahun Saka menjadi Tahun Jawa pada tahun (surya sengkala) 1556 atau tahun Hijriah 1044. Tahun Saka yang semula menggunakan pedoman rotasi matahari diubah dengan menggunakan perhitungan rotasi bulan.Dengan perubahan sistem penanggalan dari surya sengkala menjadi candra sengkala, maka tahun Jawa lebih cepat 512 dari tahun Hijriah, sedangkan terhadap tahun Masehi masih lebih lambat 78 tahun. Nama-nama bulan pun diubah dari sansekerta dengan nama Arab – Jawa.

Penghitungan untuk mencari hari itu dilakukan dengan seksama yang pada dasarnya untuk menghindari hari-hari naas yang membawa celaka bagia pengantin maupun yang empunya hajat. Setelah semuanya beres, maka barulah rencana hajatan itu diberitahukan kepada sanak saudara dan tetangga. Pemberitahuan itu disebut salaran. Jadi  salaran adalah pemberitahuan akan dilaksanakannya sebuah perkawinan. Pemangku hajat tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri. Orang itu akan mengundang sanak saudara, handai taulan dan tetangga-tetangga dekatnya untuk membantu hajatan tersebut (sambatan). Pada saat mereka berkumpul itulah pemangku hajat menyampaikan maksudnya (ujub), dan semua yang hadir mendengarkannya. Salah satu bantuan yang diperlukan oleh pemangku hajat adalah menyampaikan undangan kepada tetangga, saudara, teman, kerabat dan lain-lain. Pada saat itu mereka yang hadir mendengarkan dengan baik tugas yang dibebankan kepadanya..

Pertemuan untuk membentuk panitia sekaligus membagi tugas untuk melakukan salaran itu disebut kumbakarnan. Istilah kumbakarnan berasal dari kata kumba yang berarti beradu, dan karna yang berarti telinga.  Mengadu telinga yang berarti mengadu pendengaran. Jaman dulu dalam masyarakat Jawa banyak orang yang belum bisa baca tulis dan alat komunikasi pun masih sangat terbatas. Sehingga para petugas (panitia) hanya mengandalkan pendengarannya ketika menerima tugas.



Penutup



Itulah awal sebuah pesta perkawinan dalam budaya Jawa, sebelum dilakukannya hajatan. Mengingat perkawinan dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya memang belum berkenalan (apalagi pacaran), maka kemudian lahirlah istilah witing tresna jalaran saka kulina. Tak ada cinta sebelum perkawinan, bahkan tak ada perkenalan. Karena itu cinta tumbuh sejalan dengan perkembangan perkawinan.

Dalam keadaan seperti itu perempuan memang merupakan pihak yang hanya sekadar subordinasi dari laki-laki. Padahal laki-laki Jawa memiliki lima kebanggaan yang harus diupayakan sebagai simbol keberhasilan: wisma, turangga, kukila, wanita, curiga. Wisma adalah rumah, tempat tinggal yang merupakan kediaman, turangga adalah kuda yang secara umum ditafsirkan sebagai kendaraan; kukila adalah hobi atau kesenangan (klangenan) yang merupakan lambang kehidupan spiritual, dan wanita adalah isteri yang menunjang keperwiraan. serta curiga (pusaka), sesuatu yang diandalkan. Semua itu tidak dapat dilepaskan dari laki-laki.

Kini istilah witing tresna jalaran saka kulina tidak lagi terdengar. Manton tidak lagi merupakan ritual tetapi merupakan entertainment, sebuah pertunjukan. Karena itulah banyak event organiser, penjual jasa pengorganisasi hajatan. Praktis sekali!** (mBah MO, dari berbagai sumber)




Kawruh Budaya Jawa - Brobosan



Kawruh Budaya Jawa - Brobosan


Dalam pemahaman orang Jawa, seseorang yang meninggal berarti mengadakan perjalanan ke alam kelanggengan. Untuk mengantarkan jenazahnya, dilakukan rangkaian upacara penghormatan. Brobosan adalah bagian dari rangkaian upacara mengantar jenazah orang tua. Kenapa hanya jenazah orang tua? Apakah untuk jenazah anak-anak tidak dilakukan penghormatan tersebut?

Dalam kehidupan manusia pada umumnya, orang tua dianggap sebagai yang telah menjadikan seseorang hidup di dunia ini. Dari orang tualah benih keberadaan seseorang. Karena itu orang tua wajib dihormati. Tidak ada suku, agama, dan kepercayaan yang memiliki ajaran untuk tidak menghormati orang tua. Bahkan seseorang yang bertindak tidak senonoh kepada orang tua dikatakan kurang ajar! Dalam kehidupan Israel di Perjanjian Lama ada hukum yang sangat dipatuhi, “Hormatilah orang tuamu, agar dipanjangkan umurmu di tanah perjanjian”.

Di dalam Serat Wulang Reh karya PB IV ditulis dalam pupuh Maskumambang, “(10) Pramilane Rama Ibu den bekteni, kinarya jalaran anane badan puniki, wineruhken padhang hawa; (11)  Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widhi, mulane wajib sinembah”.

Didasari pemahaman seperti itu, penghormatan kepada orang tua harus tetap ditunjukkan hingga orang tua meninggal. Bahkan ketika orang tua sudah berada di alam lain, kuburan orang tua masih harus dirawat. Orang Jawa memiliki ungkapan, mikul dhuwur mendhem jero yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua (dan leluhur).

Penghormatan kepada jenazah orang tua (atau leluhur langsung) di kalangan orang Jawa dilakukan dalam beberapa tahap yang sering disebut dengan pangrukti layon: (1)  memandikan jenazah, (2) mendandani (dandos) dengan pakaian, (3) mendoakan, (4) memakamkan, (5) memule (merawat makam, menghormati leluhur)..

Jalannya Upacara Brobosan

Brobosan merupakan bagian dari upacara pemakaman. Kata brobosan berasal dari kata brobos yang artinya menerobos atau menelusup lewat lubang. Dalam rangkaian upacara pemakaman, brobosan merupakan salah satu bagian dari upacara.  Sebelum diberangkatkan dari rumah, keranda diangkat ke luar rumah lalu berhendi di halaman. Oleh para pengusung, keranda itu diangkat agak tinggi, lalu seluruh anak cucu beriringan berjalan melalui bawah keranda sebanyak tiga kali mengelilingi pengusung dengan arah sesuai jarum jam. Yang berjalan paling depan adalah anak perempuan paling kecil (dan keluarganya, kalau sudah menikah) diikuti kakak-kakaknya lalu diikuti para  cucu.
Upacara brobosan hanya dilakukan terhadap jenazah orang tua, dimaksudkan sebagai tanda bakti dan penghormatan keluarga terhadap yang orang yang meninggal sekaligus keikhlasan melepas jenazah.

Setelah brobosan selesai, seorang perempuan anggota keluarga (biasanya kakak atau adik perempuan yang meninggal), memecahkan kendhi berisi air (atau genteng rumah) di depan jenazah, lalu menyapu jalan yang akan dilalui dengan sapu lidi. Upacara tersebut melambangkan penyiapan jalan agar perjalanan jenazah/roh yang meninggal lancar dan jalannya lurus (tidak berliku-liku). Dalam perjalanan ke makam, layon dipayungi oleh salah seorang anggota keluarga, sementara anggota keluarga yang lain menaburkan sawur berupa beras kuning, bunga, atau mata uang logam.

Semua taburan (sawur) itu menyimbolkan sesuatu yang bermakna. Bunga menyimbolkan bau harum yang ditebarkan, uang logam menyimbolkan rasa sosial kepada sesama, dan beras kuning menyimbolkan kayuwanan, yang mengandung harapan akan keselamatan. Di kalangan orang Jawa keberangkatan jenazah ke makam sering diiringi pembakaran kemenyan atau dupa, yang sebenarnya merupakan sarana untuk berhubungan dengan Yang Maha Kuasa karena di balik pembakaran kemenyan itu terungkap doa agar roh atau arwah yang meninggal selamat dalam perjalanan ke alam kelanggengan.

 Bagaimana Gereja Menyikapi?

Menurut pemahaman Kristen, setiap orang harus mempertanggungjawabkan seluruh kehidupan imannya sendiri. Banyak ayat yang dipakai untuk mendasari dogma kristen bahwa setelah meninggal, seseorang langsung berada di pangkuan Bapa di Surga. Itu sebabnya dalam agama kristen tidak ada doa untuk arwah. Seolah-olah yang terjadi adalah putusnya hubungan antara orang yang sudah meninggal dengan orang-orang yang ditinggalkan. Itu sebabnya kebaktian pemakaman atau kebaktian penghiburan tidak pernah ada ungkapan yang mendoakan orang yang sudah meninggal. Pusat ibadah kristen dalam kaitan dengan orang meninggal adalah keluarga yang ditinggalkan. Pertanyaannya, apakah upacara brobosan bertentangan dengan agama Kristen?

Kalau melihat pemahaman dan jalannya upacara brobosan, ada yang perlu dicatat: yaitu brobosan adalah upacara (ritual) adat yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua. Bukankah pangrukti layon dengan memarawat secara pantas adalah bentuk ungkapan penghormatan tersebut? Tidak ada muatan rohani di dalam ritual brobosan yang bertentangan dengan ajaran kristen. Yang patut dicermati adalah bagian nomor 3 dalam pangrukti layon yaitu mendoakan arwah. Bagian ini yang dalam kehidupan gereja protestan tidak diperbolehkan, walaupun dalam Katolik ada.
Dalam kehidupan bergereja, sering dijumpai adanya warga gereja yang melakukan ritual brobosan dan ritual lainnya. Untuk brobosan pemahaman akan makna penghormatan tidak menjadi masalah. Bahkan upacara menyapu jalan di depan iringan peti, serta sawur tidak bertentangan dengan hayatan kekristenan. Semuanya itu sarat dengan makna, yang isinya adalah doa dan harapan. Bukankah dalam ibadah pemberangkatan jenazah pun pendeta selalu memohon kepada Tuhan agar jalannya pemakaman itu terus dalam penyertaan Tuhan? ** (mBah MO)

Kawruh Budaya Jawa - Busana



Kawruh Budaya Jawa -  Busana 


Pendahuluan

Busana Jawa sebenarnya adalah pakaian menurut adat Jawa. Disebut busana karena pakaian adat Jawa bukan sekadar pakaian untuk menutupi tubuh atau aurat saja. Busana atau pakaian adat Jawa selain berfungsi sebagai penutup tubuh juga menunjukkan identitas seseorang, termasuk derajat dan pangkat atau kelas sosial dalam struktur masyarakat. Karena itu dalam hal berbusana Jawa ada berbagai aturan, unggah-ungguh, dan tatakrama. Kita ambil contoh, ketika melihat seorang anak muda bercelana jean butut dipadu dengan surjan lurik bagian atasnya misalnya, sebagai orang Jawa hati kita akan merasa terusik. Kenapa? Karena perpaduan seperti itu sangat tidak pantas, bahkan secara tidak langsung ada tindakan pelecehan. Oleh karena itu kita terlebih dahulu harus mengetahui, apa saja kelengkapan busana Jawa? Almarhum Soeharto, mantan presiden pernah menegur pemuda yang diundang ke istana karena mengenakan pakaian Jawa tidak selayaknya. Pada jaman itu wartawan yang meliput kegiatan presiden tidak diperbolehkan mengenakan jin dan kaos oblong. Pakaian para undangan pun harus resmi, kalau bukan batik, ya baju lengan panjang dengan dasi. Dalam acara kenegaraan, semua yang hadir harus mengenakan pakaian resmi, yaitu jas dan dasi. Bahkan wartawan yang meliput harus berpakaian resmi, dengan jas dan dasi. Untuk acara resmi keluarga, Soeharto selalu mengenakan pakaian Jawa gaya Jogja: kain, surjan, dan blangkon tanpa keris.



Busana Jawa



Kini busana Jawa semakin jarang dikenakan. Untuk kaum perempuan hingga kini memang masih diuri-uri. Busana untuk kaum perempuan bahkan sudah dikenal sebagai busana nasional, pakaian resmi. Perkembangannya pun  untuk saat inmi sudah sangat baik. Dari segi kepantasan dan kepraktisannya, busana Jawa putri mengalami revolusi yang luarbiasa. Kita bisa mencari kain (jarik atau sinjang) yang sudah diwiru di toko-toko busana dari tingkat yang sangat mahal dan terkenal hingga pasar swalayan, dan tinggal memakai dengan resluiting (sreet…. .jadi, dan rapi). Begitupun kebaya, kemben, gelung dan sebagainya. Semua serba praktis dan indah (tergantung duitnya saja, mau beli yang mahal atau yang murah).

Tetapi bagaimana dengan busana pria? Busana Jawa pria seperti barang mewah. Kita dapat menyaksikan busana Jawa pria dikenakan hanya pada acara adat Jawa, khususnya pada acara manton. Dulu (tahun 1982-1987) ada anggota DPR yang selalu mengenakan busana adat Jawa dalam acara kenegaraan. Tetapi ada yang berkomentar bahwa itu menyalahi protokoler. Sebab dalam undangan selalu ditulis, pakaian nasional, dan yang ditetapkan sebagai pakaian nasional adalah celana panjang, baju, jas, dasi, sepatu dan peci. Sedangkan di luar itu dianggap sebagai pakaian adat. Apa saja kelengkapan busana pria? Banyak “dhukun manten” atau perias penganten menyewakan busana Jawa. Tetapi banyak dari mereka yang tidak tahu kelengkapan busana Jawa, apalagi memakaikannya (ndandani). Namun banyak orang Jawa yang sudah tidak mengenal kelengkapan busana Jawa, sehingga ketika harus mengenakannya dalam upacara adat akan menurut saja pada periasnya.

Sebenarnya, kita bisa memakainya sendiri, asalkan tahu  apa saja kelengkapan busana Jawa. Ada banyak gaya busana Jawa  yang berlaku di daerah di pulau Jawa. Gaya Sunda jelas lain dengan gaya Jawa. Gaya Madura juga lain dengan gaya Jawa. Tetapi gaya busana Jawa sendiri, berbeda antara gaya Surakarta dan Jogjakarta. Bahkan untuk gaya Surakarta ada perbedaan antara gaya kasunanan dengan mangkunegaran. Di bawah ini kelengkapan busana menurut gaya kasunanan Surakarta, yaitu:

1)   Baju atau rasukan, yang biasa disebut beskap. Untuk abdi dalem jajar, lurah, mantri, penewu, bupati serta sentana panji ke bawah memakai atela (beskap yang kancingnya di tengah dada); sedangkan sentana dalem ke atas, dan pangeran wayah berupa baju sikepan (beskap yang menutup dada dengan kancing di pinggir). Tentang beskap, ada berbagai bentuk. Gaya Surakarta dan Jogyakarta pun sangat berbeda. Di Jogya dikenal surjan dengan yang kedua ujung nya berbentuk runcing.  Bagian belakang tertutup seluruhnya. Model ini tidak dikenal di Sala. Di Sala dikenal paling tidak beskap landung (panjang, tertutup dan dipakai tanpa mengenakan keris) dan atela, pendek dan di bagian belakang ada cekungnya. Model atela dipakai untuk mengenakan keris. Ada lagi gaya Langenarjan, yaitu berbentuk jas bukak pendek, dilengkapi dengan dasi kupu-kupu, dan bagian belakang kerowok untuk keris. Model itu dikenalkan pertama kali oleh Mangkunegara IV ketika diundang oleh PB IX untuk bertemu di pesanggrahan Langenharja, Sukaharja.

2)   Keris. Ada dua macam bentuk keris yaitu gayaman (godhongannya tidak runcing)  dan bentuk ladrangan (godhongannya runcing). Bentuk gayaman dipakai dalam pisowanan biasa (dengan beskap) atau dalam acara sripah (layatan). Sedangkan ladrangan dipakai untuk upacara resmi atau upacara yang sifatnya sukacita.

3)   Dhestar atau blangkon.. Ada beberapa bentuk dhestar atau blangkon, dan blangkon akan menunjukkan derajat atau tingkat sosial. Blangkon untuk abdi dalem jajar sampai tingkat  bupati menggunakan kuncung dengan mondholan cekok. Kuncung berbentuk segitiga yang berada di tengah-tengah dahi, sedangkan mondholan cekok berbentuk seperti bungkusan jamu yang dipakai nyekoki anak-anak, bulat seperti buah jengkol., Untuk sentana riya dan pangeran/putra raja memakai blangkon tanpa kuncung dan mondholan jebehan yaitu yang berbentuk lebar agak rata dengan sayap. Bentuk blangkon jogya berbeda dengan blangkon Sala, Blangkon Jogya memakai monholan besar (sebesar telur bebek), tidak ada yang berkuncung.

4)   Sabuk cindhe. Sabuk cindhe adalah sabuk yang bentuknya seperti stagen berwarna-warni dan diberi benang warna emas. Pada jaman dulu sabuk cindhe hanya digunakan oleh raja, namun kemudian diikuti oleh anak cucu raja serta hanya sentana riya ke atas yang boleh mengenakannya. Namun sekarang dalam perhelatan banyak orang memakai sabuk cindhe. Dalam hajatan, pemangku hajat mengenakan sabuk sindur (kain berwarna merah putih), sedangkan orang yang kematian mengenakan sabuk berwarna hitam;  Sebelum mengenakan cindhe, terlebih dahulu memakai stagen.

5) Epek timang, yaitu sabuk kecil bertimang. Epek itu berwarna hitam dengan bordir benang emas yang berbentuk nguntu walang, (seperti gigi belalang). Pada jaman dulu epek timang hanya boleh dikenakan oleh pangeran dan riya ke atas, sedangkan abdi dalem dengan segala pangkat bi bawahnya hanya boleh mengenakan yang polos (lus);

6)   Sinjang atau kain jarik. Tidak semua motif jarik boleh dikenakan oleh masyarakat. Jarik yang bermotif lereng hanya boleh dikenakan pangeran, anak maupun cucu raja. Dalam hajatan manton, orang tua pengantin mengenakan jarik bermotif truntum, yaitu motif bintang kecil yang dihubungkan oleh garis memenuhi seluruh bidang. Motif ini merupakan lambang penyatuan semua unsur. Perkawinan dipahami sebagai penyatuan dua keluarga besar menjadi satu. Sedangkan untuk pengantin mengenakan jarik bermotif sida mukti, yang melambangkan harapan akan kehidupan yang sejahtera. Kain sebelum dikenakan sudah diwiru (lipatan). Untuk kain perempuan, wironannya kecil, sedangkan untuk laki-laki wironannya agak besar. Wiron gaya Surakarta menyimpan pengasih (bagian pinggir kain yang berwarna putih) di dalam, sedangkan gaya Jogjakarta menempatkan pengasih di bagiuan luar sehingga kelihatan putih.

7)  Selop, yaitu alas kaki yang bagian depannya tertutup.

Cara memakai busana Jawa dan urut-urutannya.

Sebelum memakai busana Jawa, telitilah kelengkapan busa tersebut. Jarik atau sinjang sudah diwiru dengan wironan di sebelah kanan, motif tidak terbalik dan seterusnya. Wironan untuk pria lebih lebar dari wironan untuk putri, dan kalau putri wironannya di sebelah kiri. Lalu telitilah apakah ada stagen, lalu cindhenya cukup panjang atau epek timangnya muat di lingkaran perut, beskapnya lengkap kancingnya, dan seterusnya. Setelah semuanya lengkap, maka tinggallah memakainya dengan urutan sbb.:

1.       Bebedan atau memakai kain (sinjang): a) peganglah ujung kain berwiron dengan tangan kanan dan pengasih (bingkai kain yang bergaris putih) dengan tangan kiri; b) rentangkan kain; 3) bebedkan tangan kiri (tlangkupkan) terlebih dahulu ke arah kanan hingga blebed kaki; 4) rapikan dengan cara menarik ke belakang; lalu 5) bebedkan wiron ke arah kiri dengan posisi wiron jatuh tepat di tengah perut.. Ujung kain di bagian bawah ditata  menjadi rata sama tinggi. Kalau salah satu ujungnya lebih panjang akan disebut ngadal melet (seperti kadal menjulurkan lidah); 6) kancingkan kain dengan cara diikat atau diselipkan ujung atasnya ke bagian dalam.

2.       Stagenan atau memakai stagen: a) siapkan stagen dengan posisi tergulung terbalik (bagian dalam di sebelah luar); b) bebatkan (lingkarkan) stagen se arah dengan kain (ke kiri) dimulai dari bawah ke atas; c) kancingkan stagen setelah kencang dan terasa nyaman dipakai. Cara mengancingkannya bisa dengan peniti atau diselipkan ujungnya ke bagian dalam.

3.       Sabukan cindhe:  a) berbeda dengan stagen yang dibebatkan dari bawah, sabuk cindhe dibebatkan ke perut dengan posisi dari atas ke bawah sehingga kelihatan berlapis-lapis. Lapisan cindhe semakin ke bawah semakin besar (jarak lapisannya bisa diukur dengan dua jari melintang; b) arah cindhe sama dengan stagen yaitu dari kanan ke kiri. Lapisan cindhe yang demikian itu disebut mucuk bung (seperti pucuk bung atau tunas bambu yang disayur). Usahakan ubetan cindhe bisa 5 sap (lima ubetan). Kalau lebih dari 5 ubetan akan tampak brukut, tetapi kalau kurang dari 5 ubetan disebut kurang mbangkek; c) usahakan ujung cindhe berada di pinggir kanan atau kiri, jangan tepat di tengah-tengah bagian depan atau belakang; d) kancingkan cindhe dengan peniti

4.       Epek timang: a) ubetkan epek timang dari kanan ke kiri (seperti ubetan stagen); b) timang harus dijatuhkan di tengah perut; c) letak epek diusahakan dua jari melintang dari bagian terbawah cindhe.

5.       Rasukan (beskap): a) pakailah beskap dengan memasukkan tangan ke lengan secara bergantian hingga trep; b) kalau mengenakan atela, kancingkan dari atas ke bawah, sedangkan untuk beskap sikepan, sikepkan bagian ujung kiri ke kanan dan kemudian dikancing lalu bagian kanan disikepkan ke kiri, sehingga nampak dari luar kancing sikapan ada di sebelah kiri, searah dengan nyamping.

6.       Dhestar atau blangkon: a) pakailah blangkon dengan posisi kuncung atau celah depan tepat di tengah-tengah dahi; b) pasangkan blangkon jangan terlalu mblesek tetapi jangan terlalu numpang.

7.       Selopan: a) pakailah selop berwarna hitam; b) masukkan kaki kanan terlebih dahulu baru disusul kaki kiri; c) jangan terlalu memasukkan kaki ke dalam selop hingga kelihatan mblesek tetapi jangan terlalu kecil.

8.       Jam bandhul: kalau ada hiasan (aksesori) berupa jam gandul, a) masukkan jam bandhul ke kantong, b) kaitkan gantungan jam ke kancing, c) posisi bagong di ujung gantungan yang dikancing.

9.       Keris: a) untuk pisowanan dan kesripahan, keris yang dipakai warangkanya gayaman (humahan, yang ujungnya tidak runcing, seperti keris Bali), sedangkan untuk acara yang lain model keris ladrangan (bapangan, yang ujungnya runcing); b) angkup atau godongan, yaitu bagian warangka yang lebih pendek harus berada di sebelah dalam dan bapangan-nya di luar, sehingga deder (pegangan atau garan) menghadap ke dalam. Hal ini perlu diperhatikan karena pemasangan keris yang terbalik bisa menimbulkan keributan karena dianggap pelecehan atau menantang berperang; c) keris dalam posisi yang sudah benar dimasukkan di sabuk cindhe nomor dua (ubetan kedua) dari bawah.

Ada beberapa cara mengenakan keris, dan pengenaan itu memiliki arti dan kepentingan yang berbeda, yaitu: a) ogleng, mengenakan keris di belakang miring ke kanan dan warangka menghadap ke atas. Ini cara mengenakan yang umum. Cara ini melambangkan keadaan sukacita, tidak ada niat untuk mengkhususkan seseorang; b) dederan atau andoran, mengenakan keris lurus di belakang dengan warangka menghadap ke kiri (mengikuti tulang belakang). Cara ini dipakai ketika menghadap atasan atau sesepuh, atau mengikuti ibadah. Ini melambangkan penghormatan; c) kewal atau ngewaake keris, mengenakan keris di belakang dengan ondong ke kiri. Dulu cara ini dipakai prajurit dalam keadaan siap siaga. Cara itu merupakan cara menantang orang lain, sehingga pantang digunakan; d) sungkeman, mengenakan keris dengan memasukkan seluruh warangka ke dalam dan hanya bagian atas (landeyan, angkup, pijetan) yang kelihatan. Cara ini dikenakan saat mengantar jenasah; e) Nganggar atau anganggar  pusaka, mengenakan   keris digantungkan di paha sebelah kiri digantungkan pada epek. Cara itu dipakai oleh para pemimpin barisan (mengenakan dua keris, yang satu di belakang); f) sikep, mengenakan keris di bagian depan, condong ke kanan dengan warangka menghadap ke bawah. Cara itu pada umumnya dikenakan oleh ulama yang memakai jubah seperti Pangeran Dipanegara; g) Mbrongsong, membawa keris dengan cara sikepan tetapi keris dibungkus rapat sampai tidak kelihatan. Cara itu digunakan untuk membawa pusaka yang tidak boleh diketahui umum. 

Penutup

Cara yang tepat dan baik dalam berbusana Jawa akan  membuat kita semakin memahami eksistensi kita sebagai orang Jawa. Semoga kawruh dari leluhur ini dapat kita lestarikan di dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa. Sebab siapakah lembaga yang dapat menjadi ahli waris budaya Jawa kalau bukan GKJ? Selain pemerintah yang memang merupakan institusi yang terorganisasikan (kuat dalam infrastruktur dan dana tetapi sangat lemah dalam implementasi), hanya GKJ (dan gereja-gereja berbahasa Jawa) yang merupakan institusi dan memiliki kekuatan dalam hal infrastruktur dan impelementasi. Semoga.   (mBah MO, dari berbagai sumber)

Tentang Burung Pipit Yang Sayapnya Terluka


Tentang Burung Pipit Yang Sayapnya Terluka





Seekor burung pipit terbang di tengah badai. Bulunya basah kuyup dan sayapnya terluka. Lalu berhenti di sebuah ranting di pohon besar. “Capek”, katanya. Padahal baru setengah jalan ia terbang. Ia harus pulang, menuju sarangnya. Di sana ada istri dan anak-anaknya.

“Kenapa kau berhenti?”. Tiba-tiba ada suara menyapa.

“Aku capek!”, katanya tanpa menoleh dan peduli siapa yang menyapa.

“Bukankah kamu harus pulang? Istri dan anakmu menunggu di sarang”, kata suara itu lagi

“Biar saja. Rasanya capek sekali”

“Tapi di pohon itu banyak ular dan binatang pemangsa”

“Biar saja, lebih baik aku dimangsa ular”.

Hening sejenak, lalu suara itu berkata. “Kenapa kamu berkata seperti itu? Kamu ingin mati?”

“Yah”

“Ingin mati sekarang?”

“Yah”

“Kenapa?”

“Aku capek. Badai dan angin topan begitu kencang. Aku tak bisa melawannya. Aku harus mencari makan untuk istri dan anak-anakkua tetapi aku tidak bisa. Badai dan topan itu menghalangiku. Sayapku terluka dan aku sudah tidak kuat terbang ke mana-mana”

Hening lagi. Lalu suara itu berkata, “Boleh aku melihat sayapmu?”

Baru burung pipit itu peduli dan mencari-cari suara. Sesosok tubuh samar-samar berdiri di depannya. Tangannya yang kuat memegangnya. Sayapnya dibuka dan dibelai lembut. “Bagaimana rasanya? Sayapmu masih sakit?”

“Tidak. Aku merasa kuat”.

“Kalau begitu pulanglah. Jangan merasa putus asa. Hidupmu masih panjang dan kamu harus menjalaninya”.

Burung pipit itu mengepakkan sayapnya. Terasa kuat dan tidak sakit lagi. Matanya kembali berbinar. “Terima kasih”, katanya sambal terbang. Badai itu diterjangnya.

Sampai di sarangnya, anak-anaknya mencicit, meminta makan. Tetapi burung pipit itu tidak membawa setangkai padi pun. Ia sedih, tidak berhasil membawa makanan untuk anaknya. Istrinya menatapnya dengan terharu. Ia tahu suaminya telah berusaha mencari makan tetapi tidak berhasil. “Lapar…lapar…lapar”, cicit anak-anaknya. Sang ibu menimang mereka, membelai dengan kasih sayang. “Tidurlah dahulu. Hari ini tidak ada makanan, tetapi percayalah besok akan ada makanan. Ayahmu sudah berusaha tapi hari ini memang tidak berhasil. Itu bukan salah ayahmu. Alam sedang mengganas, tidak ramah dengan ayahmu.”

Sang ayah terharu mendengar kata-kata istrinya. Ia berdiri di luar sarang, di dahan kecil. Ia sedih. Hari itu ia tidak berhasil. Badai dan topan mengganas di mana-mana dan sawah ladang tak begitu jelas kelihatan. Batang padi pada rubuh dan tergenang air. Ia tidak bisa mendapatkan setangkai padi pun untuk anak-anaknya. Ia ingin menceritakan kejadian yang dialaminya tadi pada istrinya, tetapi tiba-tiba suara itu datang lagi.

“Kamu masih sedih?”

Burung pipit itu tidak menghiraukannya. Pikirnya, “siapa dia? Bukankah dia itu yang menolong di tempat yang jauh? Kenapa tiba-tiba berada di sini?

“Kenapa kamu sedih? Bukankah sayapmu sudah sembuh dan tubuhmu sudah kuat?”

“Bagaimana tidak sedih. Aku tidak berhasil membawa makanan buat anak-anakku. Mereka kelaparan. Kalau besok ada badai seperti ini lagi, kami tidak akan bertahan hidup”

“Begitukah?”

“Ya, begitu”

Burung pipit itu sudah benar-benar putus asa. Istri dan anak-anaknya sudah tidur. Tetapi bagaimana esok hari? Bisakah mereka bertahan dalam kelaparan?

Tiba-tiba suara itu berkata, “Percayakah kamu kepada-Ku?”

Burung pipit itu menengok ke arah suara. Pandangannya kosong. “Percaya? Percaya apa?”

“Aku akan melindungimu dan merawat hidupmu”.

Burung pipit itu terdiam. “Merawat dan melindungi? Bagaimana caranya?”

“Kenapa aku harus percaya kepada-Mu? Kamu akan melindungi dan merawat hidupku? Bagaimana caranya?”

“Yah, AKU akan melindungi dan merawat hidupmu”

“Kalau begitu, bawakan aku dan anak-anakku setangkai padi, biar kami makan malam ini. Biar kami tidak kelaparan dan mati”

“Kamu tidak akan mati hanya karena lapar”

“Bagaimana kamu tahu?”

“AKULAH yang berkuasa atas kehidupan”.

“Ah, aku tidak tahu Engkau siapa. Tetapi supaya aku percaya kepada-MU, biarkan aku, istri dan anak-anakku tidur nyenyak malam ini, dan besok pagi ketika matahari terbit berikan aku kekuatan untuk terbang mencari makanan buat istri dan anak-anakku”.

Berkata begitu, pipit langsung tertidur. Kakinya yang kecil mencengkeram erat dahan di sebelah sarangnya. Sampai pagi. Ketika matahari mulai menampakkan diri, pipit terbangun. Istri dan anak-anaknya masih tidur pulas. Dikepakkannya sayapnya. Tubuhnya merasa kuat. Ia bangunkan istrinya, “aku mau terbang mencari makan. Jagalah anak-anak kita”. Dan ia melesat terbang. Dari atas dicarinya sawah dan ladang. Ada sebidang sawah tak tertutup air. Pipit itu menukik dan makan padi yang bernas menguning. Setelah kenyang ia potong setangkai padi dan ia bawa terbang dengan paruhnya. Hatinya gembira. Hari ini istri dan anak-anaknya bisa makan. Itulah kebanggaannya sebagai kepala keluarga. Sesampainya di sarang ia sodorkan padi yang bernas di depan istrinya. Istri dan anak-anaknya terbangun. Hatinya bergembira memperoleh makanan.

Ia saksikan istrinya menyuapi anak-anaknya. Ia berharap suara itu datang lagi dan menyapanya. Ia ingin mengucap syukur dan menyatakan bahwa ia percaya. Yah, ia percaya kepada-NYA, Penguasa Kehidupan! Ya Tuhan, aku percaya! Tolonglah aku yang tidak percaya ini .-


Tentang Burung Pipit dan Tikus

Burung Pipit dan Tikus Burung pipit dan anak-anaknya tertegun melihat keadaan sawah yang berantakan. Mereka hinggap di pohon di...

Best of The Best