Kawruh
Budaya Jawa - Brobosan
Dalam kehidupan manusia pada umumnya, orang tua dianggap sebagai yang telah menjadikan seseorang hidup di dunia ini. Dari orang tualah benih keberadaan seseorang. Karena itu orang tua wajib dihormati. Tidak ada suku, agama, dan kepercayaan yang memiliki ajaran untuk tidak menghormati orang tua. Bahkan seseorang yang bertindak tidak senonoh kepada orang tua dikatakan kurang ajar! Dalam kehidupan Israel di Perjanjian Lama ada hukum yang sangat dipatuhi, “Hormatilah orang tuamu, agar dipanjangkan umurmu di tanah perjanjian”.
Di dalam Serat Wulang Reh karya PB IV ditulis dalam pupuh Maskumambang, “(10) Pramilane Rama Ibu den bekteni, kinarya jalaran anane badan puniki, wineruhken padhang hawa; (11) Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widhi, mulane wajib sinembah”.
Didasari pemahaman seperti itu, penghormatan kepada orang tua harus tetap ditunjukkan hingga orang tua meninggal. Bahkan ketika orang tua sudah berada di alam lain, kuburan orang tua masih harus dirawat. Orang Jawa memiliki ungkapan, mikul dhuwur mendhem jero yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua (dan leluhur).
Penghormatan kepada jenazah orang tua (atau leluhur langsung) di kalangan orang Jawa dilakukan dalam beberapa tahap yang sering disebut dengan pangrukti layon: (1) memandikan jenazah, (2) mendandani (dandos) dengan pakaian, (3) mendoakan, (4) memakamkan, (5) memule (merawat makam, menghormati leluhur)..
Jalannya Upacara Brobosan
Upacara brobosan hanya dilakukan terhadap jenazah orang tua, dimaksudkan sebagai tanda bakti dan penghormatan keluarga terhadap yang orang yang meninggal sekaligus keikhlasan melepas jenazah.
Setelah brobosan selesai, seorang perempuan anggota keluarga (biasanya kakak atau adik perempuan yang meninggal), memecahkan kendhi berisi air (atau genteng rumah) di depan jenazah, lalu menyapu jalan yang akan dilalui dengan sapu lidi. Upacara tersebut melambangkan penyiapan jalan agar perjalanan jenazah/roh yang meninggal lancar dan jalannya lurus (tidak berliku-liku). Dalam perjalanan ke makam, layon dipayungi oleh salah seorang anggota keluarga, sementara anggota keluarga yang lain menaburkan sawur berupa beras kuning, bunga, atau mata uang logam.
Semua taburan (sawur) itu menyimbolkan sesuatu yang bermakna. Bunga menyimbolkan bau harum yang ditebarkan, uang logam menyimbolkan rasa sosial kepada sesama, dan beras kuning menyimbolkan kayuwanan, yang mengandung harapan akan keselamatan. Di kalangan orang Jawa keberangkatan jenazah ke makam sering diiringi pembakaran kemenyan atau dupa, yang sebenarnya merupakan sarana untuk berhubungan dengan Yang Maha Kuasa karena di balik pembakaran kemenyan itu terungkap doa agar roh atau arwah yang meninggal selamat dalam perjalanan ke alam kelanggengan.
Bagaimana Gereja Menyikapi?
Kalau melihat pemahaman dan jalannya upacara brobosan, ada yang perlu dicatat: yaitu brobosan adalah upacara (ritual) adat yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua. Bukankah pangrukti layon dengan memarawat secara pantas adalah bentuk ungkapan penghormatan tersebut? Tidak ada muatan rohani di dalam ritual brobosan yang bertentangan dengan ajaran kristen. Yang patut dicermati adalah bagian nomor 3 dalam pangrukti layon yaitu mendoakan arwah. Bagian ini yang dalam kehidupan gereja protestan tidak diperbolehkan, walaupun dalam Katolik ada.
Dalam kehidupan bergereja, sering dijumpai adanya warga gereja yang melakukan ritual brobosan dan ritual lainnya. Untuk brobosan pemahaman akan makna penghormatan tidak menjadi masalah. Bahkan upacara menyapu jalan di depan iringan peti, serta sawur tidak bertentangan dengan hayatan kekristenan. Semuanya itu sarat dengan makna, yang isinya adalah doa dan harapan. Bukankah dalam ibadah pemberangkatan jenazah pun pendeta selalu memohon kepada Tuhan agar jalannya pemakaman itu terus dalam penyertaan Tuhan? ** (mBah MO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar