Kawruh Budaya Jawa – Manton



Kawruh Budaya Jawa – Manton



Beberapa Pengertian Dalam Acara Manton 




Salah satu kebahagiaan orang tua adalah apabila seseorang dapat mengantarkan anaknya melangsungkan perkawinan. Dalam alam budaya Jawa, mengantarkan anak melangsungkan perkawinan bahkan merupakan kewajiban. Maka menyelenggarakan upacara manton juga disebut melaksanakan dharmaning asepuh.

Ada beberapa sebutan yang dikenakan pada orang tua yang mengantarkan anaknya. Salah satu sebutannya adalah manton. Manton adalah hajatan mengawinkan anak perempuan. Ada yang menyebut mantu, sehingga mantu memiliki dua pengertian yaitu hajatan mengawinkan anak perempuan dan anak laki-laki yang menjadi suami anak yang dikawinkan. Tetapi yang benar untuk hajatan adalah manton, berasal dari kata mantu.

Dalam penafsiran salah kaprah (jarwo dhosok), kata mantu sering ditafsirkan sebagai sing dieman metu. Dalam konteks masyarakat Jawa jaman dulu, anak perempuan selalu dipingit, atau “disimpan” di dalam rumah sebagai harta yang sangat berharga.  Anak perempuan tidak diperbolehkan bergaul dengan sembarang orang, atau pergi ke sembarang tempat tanpa pengawalan. Perkawinan anak perempuan di usia muda (bahkan belum mengalami menstruasi) merupakan hal yang biasa. Di daerah pedesaan bahkan anak-anak perempuan berusia 12 tahun sudah banyak yang dikawinkan. Anak-anak itu disayang (dieman) oleh orang tuanya karena akan mendatangkan kebahagiaan bagi keluarganya, selain mendatangkan kekerabatan yang lebih luas, dari rahimnya akan lahir anak-anak dan anak identik dengan rejeki (berkat).

Dalam pemahaman seperti itu anak perempuan menjadi “barang berharga yang sangat disayang (dieman), dan hanya boleh ke luar rumah setelah ada yang memilikinya yaitu suami. Karena itu manton merupakan hajatan orang tua pengantin perempuan.Dalam pengertian seperti itu, orang tua yang mengantarkan anak laki-lakinya melangsungkan perkawinan disebut ngentasake (mengentaskan). Kata itu berasal dari kata entas yaitu keluar dari air (berendam). Jadi orang tua dari pihak laki-laki tidak melakukan upacara manton.

Memang kadangkala ada hajatan perkawinan diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki, tetapi di Jawa hal itu tidak umum. Upacara perkawinan yang diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki biasanya terjadi karena beberapa hal.

      Pertama, anak gadis yang sudah tinggal di rumah laki-laki sebelum mereka menikah. Sebutan untuk itu adalah ngambruk. Dalam kehidupan masyarakat ngambruk  dinilai sebagai tindakan yang melanggar tatakrama sosial, namun dalam kenyataannya keadaan seperti itu sering terjadi. Penyebab ngambruk adalah orang tua anak perempuan tidak setuju anaknya dinikahi laki-laki yang pilihan anaknya (atau dipaksakan oleh orang lain tetapi anak perempuannya bersedia), sehingga anak gadisnya melarikan diri dari rumah dan ngambruk di rumah laki-laki pujaannya.

      Apabila hal itu terjadi maka orang tua gadis itu akan mencoret anaknya dari daftar ahli warisnya sebagai tanda kemarahannya. Ngambruk berasal dari kata dasar ambruk, yang berarti roboh atau tumbang. sesuatu yang berdiri tegak tiba-tiba tidak tegak lagi.

Kedua, upacara perkawinan (panggih dan ijab) yang dilaksanakan oleh pihak (orang tua) pengantin laki-laki itu karena ada kalanya pengantin putri tidak lagi memiliki orang tua, atau tidak bisa melaksanakan mantu karena sesuatu hal. Untuk keadaan seperti itu mantu dilaksanakan oleh pihak pengantin laki-laki. Upacara mantu seperti itu disebut  dhaup triman.

Selain dhaup triman, ada perkawinan yang disebut rabi triman yaitu seorang laki-laki yang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang merupakan pemberian atau hadiah dari raja atau bisa juga anak atau cucu raja. Dalam hal itu triman memiliki pengertian pemberian (yang diterimakan).

Menurut adat kraton, seorang anak atau cucu (perempuan), keluarga kerajaan apabila akan melangsungkan perkawinan dengan orang di luar kraton harus keluar dari lingkungan kraton. Karena harus keluar dari kraton, tidak mungkin perkawinan dilakukan oleh pihak perempuan, maka pelaksanaannya dilakukan oleh pihak laki-laki, walaupun pihak kraton merestui perkawinan tersebut..

Lawan kata dari ngambruk adalah ngurung. Yang disebut ngurung karena anak laki-laki (calon pengantin) sudah tinggal di rumah orang tua gadis yang dicintainya sebelum pernikahan. Mengenai sebab-sebab terjadinya keadaan ini sama dengan ngambruk, tetapi terjadi pada pihak laki-laki. Dalam masyarakat Jawa, keadaan seperti itu sering menjadi gunjingan masyarakat sekitarnya karena tidak sesuai dengan adat istiadat. Namun ada masyarakat yang menganggapnya sebagai sebagai suatu keharusan bahwa anak laki-laki yang akan kawin dengan seorang gadis sudah tinggal serumah terlebih dahulu di rumah orang tua si gadis, yang disebut magangan. Adat yang seperti itu berlaku di masyarakat Samin.



Proses Lamaran



Perkawinan di Jawa pada jaman dahulu terjadi dalam sebuah proses yang panjang. Dalam adat Jawa dulu, karena anak perempuan selalu berada dalam pingitan (dipingit), anak laki-laki tidak dapat leluasa bergaul dengan anak perempuan. Apabila tiba waktunya seorang anak laki-laki ingin menikah, maka yang dapat dilakukan hanyalah mencari kabar tentang orang-orang yang memiliki anak perempuan yang sudah gadis. Setelah memperoleh kabar bahwa di suatu tempat ada seorang anak perempuan yang sudah gadis, maka anak laki-laki itu menyatakan kepada orang tuanya akan keinginannya untuk meminang gadis yang dimaksud.

Langkah pertama yang akan dilakukan adalah nontoni,  yaitu proses melihat (mengecek) atau menyaksikan anak gadis yang ingin dipinang. Untuk melakukan pengecekan mengenai kabar tersebut sekaligus meminang, orang tua anak laki-laki itu akan mengutus congkok. Seorang congkok harus pandai berbicara dan pandai menilai keadaan seseorang dan keluarganya.

Arti kata congkok adalah penyangga. Dalam proses perkawinan utusan yang disebut congkok tersebut berfungsi sebagai penyangga perkawinan yaitu mewakili orang tua anak laki-laki untuk meminang seorang gadis. Tugas congkok antara lain: a) menjajagi kemungkinan mempertemukan kepentingan keluarga dari anak laki-laki dengan keluarga anak perempuan; b) memperkenalkan keadaan anak laki-laki kepada keluarga orangtua gadis, dan sebaliknya; c) mewakili keluarga anak laki-laki untuk meminang anak gadis yang dimaksud; d) membantu kedua keluarga dalam hal perjodohan pemuda dengan gadis yang dimaksud.

Apabila orang tua gadis itu setuju untuk menerima maksud kedatangan congkok untuk meminang  anaknya, orang tua gadis lalu menyuruh anak gadis yang dimaksud untuk menghidangkan minuman kepada tamu. Saat itulah congkok melihat dan memberikan penilaian terhadap gadis yang dimaksud. Hasil pengamatannya itulah yang harus dilaporkan kepada orang tua anak laki-laki. Salah satu hal penting yang harus diperoleh oleh congkok tersebut adalah hari lahir dan weton si gadis dan latarbelakang keluarganya. Hal itu dianggap penting karena akan digunakan sebagai dasar menghitung keberuntungan masa depan rumah tangga yang baru itu. Dalam hal ini, primbon menjadi pegangan utama dalam menghitung peruntungan.

Setelah melalui percakapan yang panjang, dengan berbagai pertimbangan yang matang termasuk cara-cara menyiasati hal-hal yang kurang baik manakala ada ketidakcocokan dalam mencocokkan perhitungan hari kelahiran (petung weton) maka congkok tersebut akan kembali kepada orang tua anak perempuan itu untuk melakukan lamaran. Upacara lamaran berisi permintaan dari utusan keluarga laki-laki kepada orang tua seorang gadis. Tujuan lamaran adalah meminta ijin dari orang tua agar anak gadisnya dipinang oleh anak laki-laki tersebut. Maka proses selanjutnya adalah persiapan-persiapan menuju perkawinan.

Lamaran bisa dilakukan secara langsung melalui congkok, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara tertulis melalui surat. Jaman dulu, jarang dilakukan lamaran melalui surat. Selain bahasa tulis yang masih jarang digunakan, proses lamaran yang dilakukan secara langsung (lisan) akan memperoleh jawaban langsung pula.

Setelah lamaran diterima maka pihak laki-laki harus memberikan tanda ikatan yang disebut peningset. Peningset itu diserahkan pihak calon penganten laki-laki kepada pihak calon penganten perempuan pada waktu yang telah ditentukan, dengan disaksikan tamu-tamu yang diundang oleh pihak tuan rumah. Biasanya tamu yang diundang hanya handai taulan dan tetangga di sekitar rumah. Adapun cincin yang ada dalam hantaran, saat itu juga dikenakan oleh kedua pengantin dalam acara tukar cincin.

Peningset diberikan oleh pihak laki-laki sebagai tanda ikatan (pengikat) bahwa dia benar-benar akan meminang gadis yang dimaksud, sekaligus tanda bahwa gadis itu telah dipinang. Peningset juga disebut tukon atau pitukon. Namun kata tukon atau pitukon jarang digunakan karena memiliki konotasi negatif. Sebab kata tukon atau pitukon berasal dari kata dasar tuku yang artinya beli.

Tukon atau pitukon berarti sarana untuk membeli. Adapun peningset itu terdiri dari pakaian penganten perempuan lengkap, cincin emas, pakaian untuk nenek orang tua penganten perempuan, uang yang biasanya merupakan sumbangan untuk hajatan, bahan mentah makanan (abon-abon).

Kelengkapan peningset disebut sanggan peningset, adalah jajan pasar lengkap, pisang ayu setangkep (dua sisir pisang raja), sirih yang  tulang daunnya bertemu (suruh ayu temu ros), tebu hitam (tebu wulung), jeruk yang bulat tidak cacat (jeruk gulung), nasi berbentuk bulat (sega golong), dan sepasang kelapa kuning (klapa gadhing). Sanggan peningset itu dibawa serta dalam upacara singsetan.



Hajatan



Setelah proses lamaran dan singsetan, maka giliran pihak perempuan yang mulai sibuk. Untuk mempersiapkan perkawinan, banyak hal yang harus dipersiapkan termasuk mencari hari yang baik untuk melaksanakan hajatan.Dalam mencari hari yang baik untuk hajatan itu. Kini giliran orang tua calon pengantin perempuan yang harus melakukan perhitungan (petung) berdasarkan primbon. Biasanya bulan-bulan yang disengker adalah bulan Pasa dan Sura. Karena itu banyak hajatan dilangsungkan pada bulan Ruwah dan Besar yaitu menjelang bulan-bulan sinengker itu. Banyak orang percaya hajatan di bulan Sura akan mendatangkan petaka.

Bagi orang Jawa bulan Sura dianggap sebagai bulan yang wingit. Kepercayaan itu berasal dari Sultan Agung ketika mula memperkenalkan tahun Jawa yang merupakan perubahan dari tahun Saka Sultan Agung mengubah sistem penanggalan tahun Saka menjadi Tahun Jawa pada tahun (surya sengkala) 1556 atau tahun Hijriah 1044. Tahun Saka yang semula menggunakan pedoman rotasi matahari diubah dengan menggunakan perhitungan rotasi bulan.Dengan perubahan sistem penanggalan dari surya sengkala menjadi candra sengkala, maka tahun Jawa lebih cepat 512 dari tahun Hijriah, sedangkan terhadap tahun Masehi masih lebih lambat 78 tahun. Nama-nama bulan pun diubah dari sansekerta dengan nama Arab – Jawa.

Penghitungan untuk mencari hari itu dilakukan dengan seksama yang pada dasarnya untuk menghindari hari-hari naas yang membawa celaka bagia pengantin maupun yang empunya hajat. Setelah semuanya beres, maka barulah rencana hajatan itu diberitahukan kepada sanak saudara dan tetangga. Pemberitahuan itu disebut salaran. Jadi  salaran adalah pemberitahuan akan dilaksanakannya sebuah perkawinan. Pemangku hajat tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri. Orang itu akan mengundang sanak saudara, handai taulan dan tetangga-tetangga dekatnya untuk membantu hajatan tersebut (sambatan). Pada saat mereka berkumpul itulah pemangku hajat menyampaikan maksudnya (ujub), dan semua yang hadir mendengarkannya. Salah satu bantuan yang diperlukan oleh pemangku hajat adalah menyampaikan undangan kepada tetangga, saudara, teman, kerabat dan lain-lain. Pada saat itu mereka yang hadir mendengarkan dengan baik tugas yang dibebankan kepadanya..

Pertemuan untuk membentuk panitia sekaligus membagi tugas untuk melakukan salaran itu disebut kumbakarnan. Istilah kumbakarnan berasal dari kata kumba yang berarti beradu, dan karna yang berarti telinga.  Mengadu telinga yang berarti mengadu pendengaran. Jaman dulu dalam masyarakat Jawa banyak orang yang belum bisa baca tulis dan alat komunikasi pun masih sangat terbatas. Sehingga para petugas (panitia) hanya mengandalkan pendengarannya ketika menerima tugas.



Penutup



Itulah awal sebuah pesta perkawinan dalam budaya Jawa, sebelum dilakukannya hajatan. Mengingat perkawinan dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya memang belum berkenalan (apalagi pacaran), maka kemudian lahirlah istilah witing tresna jalaran saka kulina. Tak ada cinta sebelum perkawinan, bahkan tak ada perkenalan. Karena itu cinta tumbuh sejalan dengan perkembangan perkawinan.

Dalam keadaan seperti itu perempuan memang merupakan pihak yang hanya sekadar subordinasi dari laki-laki. Padahal laki-laki Jawa memiliki lima kebanggaan yang harus diupayakan sebagai simbol keberhasilan: wisma, turangga, kukila, wanita, curiga. Wisma adalah rumah, tempat tinggal yang merupakan kediaman, turangga adalah kuda yang secara umum ditafsirkan sebagai kendaraan; kukila adalah hobi atau kesenangan (klangenan) yang merupakan lambang kehidupan spiritual, dan wanita adalah isteri yang menunjang keperwiraan. serta curiga (pusaka), sesuatu yang diandalkan. Semua itu tidak dapat dilepaskan dari laki-laki.

Kini istilah witing tresna jalaran saka kulina tidak lagi terdengar. Manton tidak lagi merupakan ritual tetapi merupakan entertainment, sebuah pertunjukan. Karena itulah banyak event organiser, penjual jasa pengorganisasi hajatan. Praktis sekali!** (mBah MO, dari berbagai sumber)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Burung Pipit dan Tikus

Burung Pipit dan Tikus Burung pipit dan anak-anaknya tertegun melihat keadaan sawah yang berantakan. Mereka hinggap di pohon di...

Best of The Best