Tentang Burung Pipit dan Tikus


Burung Pipit dan Tikus





Burung pipit dan anak-anaknya tertegun melihat keadaan sawah yang berantakan. Mereka hinggap di pohon di pinggir sawah, menyaksikan para petani berkumpul di pematang, Tanaman padi rusak. Batangnya pada rubuh dan bulir-bulir padi yang akan dipanen telah kopong. Dirusak tikus, dimakan tikus.

“Ayah, ke mana kita akan mencari makan lagi? Padi di sawah ini sudah habis dimakan tikus”, kata salah satu anak pipit.

“Ya ayah, kenapa tikus-tikus itu tega merusak tanaman padi yang tinggal dipanen pak tani?”, sambung anaknya yang lain.

“Ssst, Kita dengarkan dulu apa yang akan dikatakan pak tani itu”, ujar ibu pipit.

Mereka terdiam. Mendengarkan para petani membicarakan sawahnya yang rusak. “Kemana kita akan mengadu? Ini harus dinyatakan puso. Kita tidak bisa panen!”, kata seorang petani.

“Yah, gagal panen”, sahut yang lain.

“Bisa-bisa kita tidak akan bisa makan. Ini harus dinyatakan sebagai bencana nasional”, kata yang lain lagi.

“Tetapi apa kewenangan kita menyatakan itu? Kita ini hanya petani”

“Kita menghadap Gubernur”

“Jangan, menghadap Menteri saja langsung”

“Kalau perlu menghadap Presiden”

Anak-anak pipit mendengarkan dialog para petani dengan heran. Mereka saling pandang, tidak mengerti.

“Ayah, kenapa kalau gagal panen melapornya ke presiden? Kenapa tidak seperti kita, melapor ke Tuhan?”

“Lain anakku. Kalau kita ini hanya burung pipit yang tidak bisa melapor ke mana-mana. Hidup kita dipelihara oleh Tuhan. Sedangkan manusia itu harus menggunakan akalnya untuk bertahan hidup” kata induk pipit.

“Mereka sebenarnya juga mengeluh ke Tuhan, tetapi melapornya ke presiden”, kata ayah pipit.

“Lho ayah, apakah presiden itu wakil Tuhan?”

“Mestinya seperti itu anakku. Presiden itu mendapat amanah untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Itu amanah dari Tuhan. Makanya petani yang gagal panen melapornya ke presiden karena mereka jauh dari hidup sejahtera”

“Lha terus tikus-tikus itu bagaimana ayah”

“Nah, itu. Presiden seharusnya memerintahkan menterinya untuk mengatasi gagal panen itu termasuk membasmi tikus yang merusak sawah. Mestinya petani yang gagal panen dibantu oleh pemerintah”, kata pipit menjelaskan. “Coba kita dengarkan apa yang dikatakan para petani itu tentang tikus”, kata pipit.

Anak-anak pipit itu diam, memperhatikan para petani itu berembug. Mereka membicarakan bagaimana cara membasmi tikus. Ada yang usul pakai pestisida, diracun. Tetapi banyak yang tidak setuju. “Kita tangkap bersama-sama. Kita lakukan operasi besar-besaran. Kita bongkar pematang-pematang sawah. Pokoknya kita harus bersama-sama bergerak, melakukan operasi tangkap tangan”, kata seorang petani.

Para petani yang mendengar banyak yang tertawa. “Kok pakai istilah operasi tangkap tangan? Seperti KPK menangkap orang dalam kasus korupsi saja”, sergah petani lain.

“Iya, ini memang seperti nangkep koruptor. Kalau gak ditangkep tangan kan susah nangkepnya. Mereka pintar berkelit. Orang kena operasi tangkap tangan saja mereka berkelit, katanya didzolimi. Sekarang ini tikusnya semakin banyak yang ketangkep. Tapi tikusnya juga sangat banyak.”, kata petani yang sejak tadi menggebu-gebu. Yang lain tertawa.

“Percakapan kita jangan ke mana-mana to. Kita ini kan akan membasmi tikus yang merusak sawah dan menyebabkan sengsara para petani”, cegah yang lain.

“Lho, ya sama saja. Saya kan juga berbicara tentang tikus yang merusak negeri ini. Ibaratnya negeri ini sawah, tikus-tikus itu berdasi dan menghancurkan kehidupan negeri ini, menyengsarakan rakyat. Betul saudara-saudara?” tanyanya. “Betuuuuuul”, jawab para petani.

Anak-anak pipit semakin bingung. Ada yang bertanya pada ayahnya, “Ayah. Apa yang mereka bicarakan? Kok ada tikus yang berdasi merusak negeri, menyengsarakan rakyat? Apa maksudnya?” Tanya salah satu anak pipit.

“Oh, itu bahasa manusia nak. Manusia itu suka menggunakan bahasa yang aneh-aneh. Orang-orang yang kerjanya menggerogoti uang negara, serakah dan menerima suap,  mereka sebut tikus berdasi. Itu orang-orang kantoran”, jelas ayahnya.

“Apakah itu juga yang akan dilaporkan kepada presiden, ayah?”

“Kalau tikusnya banyak, mestinya yang nangkep juga orang banyak ya ayah?”

“Iyalah. Memang sebetulnya ada lembaga-lembaga yang bertugas untuk itu, tetapi banyak yang melempem dan mereka sendiri tidak bersih. Banyak tikusnya juga. Makanya ada lembaga yang disebut petani tadi, namanya KPK yang sering melakukan operasi tangkap tangan pada tikus-tikus berdasi itu”, jelas pipit pada anak-anaknya. “Untungnya kita bukan tikus ya ayah?” kata salah satu anak pipit.

“Kenapa?” Tanya ibu pipit.

“Kalau kita tikus, dioperasi………” jawabnya.

Pipit tersenyum. “Kita memang bukan tikus, anakku. Kita pipit, yang hidupnya dipelihara oleh Tuhan. Karena itu jangan sampai kita mencuri dan menggerogoti sawah-sawah negara. Terimalah hidup ini dengan tetap bersyukur kepada Tuhan yang memelihara hidup kita”, kata pipit. Tetapi anak-anak pipit sudah kelaparan. “Ayah, mari kita terbang mencari makan. Siapa tahu ada sebidang sawah yang bulir-bulir padinya bernas.” Merekapun terbang bersama-sama mencari makan di sawah lain, yang tidak dimakan tikus.- 


Wayang Gemblung - Gatotkaca Ngedan


WAYANG GEMBLUNG – GATOTKACA NGEDAN





Ini wayang apa to? Gatotkaca menari-nari di panggung. Kakinya berhiaskan gelang kroncong dari tembaga. Besar-besar seperti keprak wayang gaya Sala. Jumlahnya lima buah. Suaranya nyaring dan bening sehingga menimbulkan suara ceng…ceng…ceng. Gedrugan kakinya saat mencal bumi berbunyi go..go…berpadu dengan suara gelang kroncong yang bening…ceng…ceng…ceng. Di kanan kirinya, di luar tembok istana, para korawa dan negeri-negeri yang tidak suka dengan Amartapura melongok sambil berteriak-teriak. Hampir semua memakai celana komprang, berikat kepala putih. Setiap kali Gatotkaca menggedrukkan kaki di tanah dan menimbulkan suara go….ceng… para korawa bertepuk tangan. Mereka menyemangati Gatotkaca agar terus menari. “Ayo…terus raden….bagus…bagus….raden” dan Gatotkaca terus menari. Dia lupa bahwa di hadapannya duduk para sesepuh. Sesekali Gatotkaca berhenti menari, menenggak Ciu Bekonang yang terkenal nikmat karena terbuat dari tetes tebu.

Ki Dalang memainkan wayangnya dengan indah. Sabetannya tidak kalah dari Ki Dalang Manteb Sudarsono dari Karangpandan yang dijuluki dalang setan karena sabetannya yang seperti setan. Tangannya benar-benar lincah sehingga wayang yang dari kulit itu bisa kelihatan hidup. “Terus raden…terus….Raden adalah harapan masa depan”, teriak para korawa dan sekutunya.

Para Korawa terus menyemangati. Mereka berharap dengan begitu Gatotkaca kena marah dari para sesepuh Pandawa dan dipecat sebagai senapati. Kalau Gatotkaca mbalela, mereka akan menggotongnya menjadi senapati perang di pihak Korawa, bahkan disiapkan menjadi raja manakala terjadi perang brubuh. Mereka lupa, di kerajaan Mandura juga ada ksatria yang sudah kebelet menjadi raja. Raja Mandura, Prabu Baladewa tidak menginginkan jabatan apapun. Dia ingin menjadi resi menenangkan diri. Patihnya Pragota juga tidak menginginkan jabatan apapun, karena dia setia kepada rajanya. Tetapi yang ini, adik Pragota yang bernama Saragupita Putra. Namun ia terkenal dengan sebutan Pragota Muda. Dia pernah menunjukkan kesetiaannya pada negara, namun pernah pula dipecat. Ketika mengabdi di sebuah negeri dan menjabat sebagai pemimpin pasukan sayap kanan dalam posisi serangan Garuda Nglayang, Pragota Muda mengerahkan pasukannya untuk mengepung kraton. Waktu itu terjadi gendra di keraton. Tetapi keadaan tidak berlarut-larut dan ia diberhentikan (Di wayang purwa pakem Mahabarata gak diceritakan. Tetapi ini kan wayang gemblung, bisa begitu. Iya kan, kan dalangnya memang gmblung hahaha………..).



Pragota Muda terus bercita-cita menjadi raja. Untuk memenuhi ambisinya, ia mengangkat Fancat Sono (Nama yang sebenarnya Pancatnyana atau Surateleng. Tetapi lidah Ki Dalang selalu menyebutnya Fancat Sono). Fancat Sono dijadikan senapatinya. Karena itu ketika menyaksikan Korawa bersorak-sorak menyemangati Gatotkaca yang sedang menari-nari, Fancat Sono risau, gelisah. “Kalau Gatotkaca dicalonkan jadi raja, bagaimana dengan tuanku Pragota Muda?”, puyeng aku. “Kalau dua-duanya dipasangkan, oh tidak mungkin…tidak mungkin. Akan ada matahari kembar. Lagipula yang punya modal kan tuanku Pragota Muda! He…para korawa dan sekutunya, Sengkuni dan anak cucunya, dengarkan…dengarkan. Gatotkaca itu lagi ngedan! Tidak mungkin dia mbalela, karena dia pernah merasakan sengsaranya ketika pamannya, Brajadenta mbalela. Jadi focus….fokus…kita akan menggotong tuanku Pragota Muda menjadi raja, bukan Gatotkaca. ………….!”keluh Fancat Sono. Sigeg! Sementara AR Sengkuni (AR itu singkatan dari ARYO) ikut bersorak-sorak. Ia tidak perduli siapa yang akan menjadi pemimpin. Baginya, yang penting rusuh….rusuh…rusuh. Sebab kalau tidak rusuh, AR Sengkuni tidak bisa dapat apa-apa. Makanya dia selalu ngompori para korawa bercelama komprang untuk demo…demo…..dan demo. “Tumbangkan Yudistira!”, teriaknya selalu.

Di pihak lain, para Punakawan yang menyaksikan Gatotkaca menari-nari seperti itu mulai bertanya-tanya. “Lha wong senapati kok jogedan kaya wong edan. Kemarin ngomyang, menyuruh semua orang nonton Bale Sigala-gala. Lha wong ceritanya sudah gak laku kok ditonton lagi. Untuk apa?”, kata Bagong.

“Ya biar saja to Gong? Wong jejogedan, menari-nari kan wajar, wong korawa itu senang. Biar ada tontonan. Mumpung ada panggung, Kan tidak selamanya ada panggung?”, kata Nala Gareng.

“Lha coba dengarkan Kang Gareng. Kakinya selalu nggedruk tanah dan gelang kroncong dari tembaga itu berbunyi nyaring. Bunyinya go…ceng..ceng…ceng. Itu tentu ada artinya. Tidak mungkin raden Gatotkaca memasang gelang asal-asalan”, kata Bagong.

“Sebaiknya ditanyakan langsung saja kepada yang bersangkutan dan nanti kita crosscheck ke para pinisepuh”, usul Gareng.

Tanpa pamit ke Semar, Nala Gareng dan Bagong menemui Gatotkaca meminta penjelasan. Gatotkaca berkata, “Nala Gareng dan Bagong, kamu tahu gak. Saya ini kan senapati. Saya mendapat informasi kelas A1, ada ksatriyan yang memesan keris mpu Gandring sebanyak lima ribu, keris luk 13. Lho itu kan senjata untuk perang karena sudah harus dibalut warangan. Itu mematikan. Lha kok tidak minta ijin kepada saya sebagai senapati itu bagaimana? Ini akal-akalannya siapa dan untuk apa? Ini ngilani dadaku! Saya mau grebeg mereka. Tidak peduli siapa mereka. Kalau mau perang, saya yang jadi senapati”, kata Gatotkaca.

Nala Gareng dan Bagong berpandang-pandangan. Gareng nyeletuk, “Ndara Gatotkaca. Sebagai Senapati, kan ndara punya anak buah. Lha kok ndara tiba-tiba jogedan di depan para sesepuh dan pinisepuh itu apa tidak malu? Apa tidak seharusnya ndara bicara dengan mereka, minta pertimbangan, saya mendengar informasi seperti ini. Ada apa? Kan begitu?  Supaya tidak bikin gendra. Lihatlah para korawa bertepuk tangan. Mereka mengharapkan ndara Gatotkaca mbalela lalu mereka angkat jadi senapati korawa. Lha kalau ada perang brubuh, apa mungkin ndara Gatotkaca menjadi raja? Mereka kan sudah punya calon untuk dijadikan raja, yaitu Pragota Muda. Mereka sudah lama menggadang-gadang Pragota Muda menjadi raja. Fancat Sono sudah berkoar-koar begitu. Jadi kalau AR Sengkuni dan anak buahnya memanas-manasi ndara Gatotkaca supaya mbalela, nanti juga akan ditinggalkan di jalan. Wong mereka itu sudah terkenal begitu, suka berkhianat. Karena itu saya mohon ingat, ndara. Sumpah para senapati ketika digodhog di kawah candradimuka itu patuh kepada pemimpin dan setia untuk mempertahankan dasar-dasar negara serta mengutamakan keutuhan negara”, kata Nala Gareng.

Gatotkaca diam. Tetapi mukanya masih merah karena kebanyakan minum ciu. Dia pikir Punakawan ini benar juga. Siapa sih orang-orang yang bersorak-sorai? Apa mereka punya kekuatan? “Terus bagaimana Bagong? Apa keliru kalau saya marah karena tidak diajak bicara mengenai pesanan keris mpu Gandring itu?”

“Lha mbok coba dengarkan penjelasan sesepuh Amerta yang masih dipercaya menjadi jagabaya itu. Katanya jumlahnya tidak 5 ribu tetapi cuma 5 ratus. Yang pesen keris itu para teliksandi, bukan dari ksatriyan….. Ndara Jagabaya itu juga bilang ini komunikasi yang tidak tuntas. Informasinya setengah-setengah………..”. Belum selesai Bagong bicara, Gatotkaca sudah melesat. Terbang tanpa mesin dan baling-baling menuju lapangan terbang. Tanpa memberitahu pengawas lapangan, Gatotkaca sudah menghadap Prabu Yudistira yang baru pulang turba! “Selesai…selesai”, kata prabu Yudistira. “Jangan diperpanjang. Ki Dalang, jangan diperpanjang lagi ya… Jangan ada lagi yang minum ciu Bekonang……..”.Ki Dalang mancal kotak lalu mengajak nayaga mengiringi tembang Sinom. Ki Dalang nembang dari Serat Kalatida karya R.Ng. Ranggawarsita: “ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becil-becil, parandene tan dadi, paliyasing kalabendu, malah saya andadra, reribed angreribedi, beda-beda hardaning wong sanagara” yang terjemahannya: rajanya seorang raja yang utama, wakilnya juga orang hebat, bahkan para menteri dan pejabat negara hidup dengan sejahtera, keputusan dan kebijakannya bagus-bagus, Namun semua itu tidak bisa menjadi penangkal datangnya jaman susah. Bahkan semakin menjadi-jadi (terutama soal korupsi – banyak yang OTT tetapi kata anggota Dewan Penjarah Rupiah, tidak sah dan pencitraan hahaha……), berbagai kesulitan membelit (karena orang-orang bisanya cuma dema-demo…. dema-demo…dema-demo); berbeda-beda cita-cita orang di negeri itu (Lha iyalah, wong ada yang mau mengganti dasar negara dan kembali ke jaman mekak……para penggede terutama politikus banyak yang kebelet berkuasa.). Setelah itu tarian golek lalu tancep kayon! -


Wayang Gemblung - Grenengane Gareng




WAYANG GEBLUNG - Grenengane Gareng



Ini memang wayang gemblung. Ki Dalang memulai adegan pertama dengan menyambar Gareng. Tanpa jejer kedhaton dalam pathet 6, tetapi langsung pathet 9, dan begitu Kayon dibedhol, Gareng langsung leyeh-leyeh  sambal grenengan: “Wong edan! Masak Ksatriyan Pringgodani Kidul (KPK) mau dipindahkan ke Kutub Utara supaya beku. Memang mau dibuat segar dingin apa? Kalau air dibuat es campur sirup enak! Tapi kalau ksatriyan dibuat es. Apa klakon jualan Es KPK? Gemblung tenan! Kalau Ksatriyan itu diboyong ke kutub utara, apa gak semakin merajalela itu grombolan pencoleng yang bersekongkol di dewan penjarah rupiah! Dasar wong edan! Dhuh dewa jawata gung…nyuwun apura”

Makbedunduk! Tiba-tiba Bethara Narada sudah berdiri di depannya. Gareng terkejut.

Legenjong…legenjong….kanthong bolong ditambal gemblong. Kernapa kamu memanggil-manggil dewa? Kamu itu sedang ngapain, Nala Gareng?” tanya Narada.

“Adhuh pukulun, ngejawantah kok tiba-tiba? Mbok direncanakan dulu, biar saya siap-siap ,menyambut dengan perayaan, wong pukulun itu “yang terhormat”

“Jangan nyindir kamu, Nala Gareng. Yang butuh sebutan “yang terhormat” itu para wakil rakyat. Bisa marah mereka kalau tidak pakai embel-embel “yang terhormat”.

Gareng tertawa terkekeh-kekeh.

“Pukulun itu ada-ada saja. Jabatannya terhormat, tetapi kalau perilakunya sehari-hari hanya menjarah rupiah dan membohongi para kawula, di taruh mana kehormatannya hahaha……”.

Bethara Narada ikut tertawa. Badannya sampai terguncang. “Legenjong..legenjong…kerjanya bohong sama nyolong tetapi sombong. Kamu benar Nala Gareng. Tetapi jangan keras-keras. Kalau kedengaran yang bersangkutan bisa marah mereka”.

(Ki dalang minta petugas mengecilkan suara loudspeaker supaya gak kedengaran sampai negeri seberang).

“Pukulun, terus terang saya memang lagi mikir ulah para penjarah rupiah. Mereka mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara supaya beku, jadi es. Lha apa itu tidak berarti memberikan ruang bagi para penjarah untuk berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat?”

“Hehehe… dewan penjarah rupiah itu isinya memang bangsanya penjarah, begal, rampok, kecu, makanya usulannya aneh-aneh. Sekarang mereka gerah karena tidak bisa menjarah, makanya omongannya gak karu-karuan”, ujar Bethara Narada.“Tetapi orang-orang seperti kamu yang hanya punakawan memang harus sabar, Nala Gareng”

“Sabar bagaimana pukulun. Orang-orang yang seharusnya berada di barisan Pandawa, membela keberadaan Ksatriyan Pringgodani Kidul, lha kok bersekongkol dengan para kurawa? Ini bagaimana? Itu kan bikin tertawa Sengkuni. Oh iya pukulun, Sengkuni sekarang di mana ya? Kok gak ada suaranya”.

“Sengkuni sedang sembunyi Nala Gareng. Tetapi siapa yang mau memboyong Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara?”

“Wah pukulun Narada pura-pura tidak tahu atau apa?”

“Nala Gareng, sebagai dewa saya memang melihat kekacauan yang luar biasa. Karena itu siapa yang kamu maksudkan, tolong jelaskan”

“Itu lho pukulun, Haryo Yaksoningratan, lha kok tiba-tiba mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Selatan ke kutub selatan supaya beku. Ini kan kelanjutan dari ulah Maeso Pasirewon yang gayanya seperti Dursasana. Apa itu memang pendapat resmi Padepokan Durgandini Ibu Prameswari? Kok sepertinya mereka memang mau menyudutkan Prabu Yudistira? Apa mau menjodohkan Yudistira dengan sang Prameswari?”

“Lho…lho…lho kok seperti itu to Nala Gareng?”

“Lha saya ini malah mau tanya pukulun, je. Kalau berlarut-larut saya akan menggugat kahyangan. Saya mau kerahkan para punakawan untuk demo di kahyangan. Emangnya cuma grombolan kathok komprang yang bisa demo”.

“He…he…he…. Nala Gareng, tidak usah ikut-ikutan demo. Prabu Yudistira sudah menunjukkan taringnya. Kumisnya sedang diplintir-plintir. Walaupun kelihatan lucu, tetapi kayaknya dia marah karena Amarta mau diacak-acak. Grombolane kathlok komprang sedang mendelep. Mereka lagi ndhelik karena ketahuan bahwa mereka pemegang saham PPUK”

“Apa itu PPUK, pukulun?”

“Perusahaan Penyedia Ujaran Kebencian. Banyak bukti siapa-siapa pemegang saham perusahaan itu”

“Iya pukulun. Photonya tersebar di mana-mana, tertawa-tawa bareng tetapi mereka pada mengaku gak kenal dengan agen perusahaan itu? Lha wong photo bareng rame-rame kok ngakunya gak kenal? Memangnya mereka itu selebriti kacangan, diajak photo orang yang gak kenal dilayani”

“Lha biasa to Nala Gareng. Kalau sudah ada yang ketangkep semua ngaku gak kenal. Lihat saja kasus penjarahan rupiah. Siapa yang mengaku kenal dengan orang yang naruh gong? Gak ada to. Padahal orang-orang itu ngangkat gongnya sama-sama trus ditaruh di sana.”

“Pukulun itu bicara apa to? Kok ada yang naruh gong, ada yang ngangkat. Apa mereka itu nayaga? Kalau nayaga mestinya nabuh gamelan. Tidak naruh gong……. Saya itu lagi grenengan soal Ksatriyan Pringgodani Kidul yang akan diboyong ke Kutub Utara supaya beku. Lha kok pukulun malah ngambra-ambra gak karuan, nyinggung-nyinggung naruh gong”

"Lha jangan salah Nala Gareng. Semua itu ada kaitannya. Kamu lihat, wakil ketua dewan penjarah rupiah itu pada mbelani Sarpa Naka. Ada yang kirim surat ke punggawa Ksatriyan Prionggodani Kidul supaya pemeriksaan Sarpa Naka ditunda. Padahal mereka tidak berasal dari ksatriyan yang sama. Yang dari ksatriyan Gendrayana minta supaya Sarpa Naka jangan dipriksa dulu. Ini kan aneh. Tetapi wong mereka itu satu grombolan. Malah ada wakil yang di ksatriyannya diusir, tidak diakui sekarang entah dari ksatriyan kabur kanginan apa ksatriyan cleret tahun….”

“Lho, ksatriyan cleret tahun itu apa to pukulun?”

“Lha wong dia itu sudah dibuang dari ksatriyan tetapi masih magrok di cakruk dan kerjanya bikin rebut sampe mulutnya mencong-mencong, kalau bengesan sampai pipi. Itu kan dari ksatriyan angin ribut, bahasa jawanya cleret tahun. Itu satu grombolan, Nala Gareng. Dulu mereka itu datang ke atas angin ketika Burisrawa mencalonkan diri jadi raja”.

Gareng manggut-manggut, baru mengerti kait-mengkaitnya satu cerita dengan cerita yang lain.

“Lha kalau soal pengungsi dari negeri Burmaningratan itu bagaimana pendapat pukulun? Ada yang usul supaya disiapkan satu pulo untuk menampung mereka” Tanya Nala Gareng.

“Eh….kenthos gembol monyor-monyor …. Itu usulannya orang keblinger. Cekak nalarnya. Cekak seperti model celananya. Lha kalau mereka ditampung trus nanti mereka tidak mau mendukung ksatriyannya, kalau mati gak dishalatkan. Lha kepriwe jal……?”

Gareng kaget. Langsung dia berdiri di kursi sambal teriak, “Ki dalang..ki dalang, tancep kayon saja………………..” Ki dalang langsung mancal kothak trus tancep kayon. Gareng dan Narada ditutupi kayon. Dasar wayang gemblung, wong masih pathet 9 kok tancep kayon. Mestinya selesaikan dulu grenengannya, naik pathet manyura, perang brubuh trus ayak-ayak pamungkas sambil golekan jejogedan, baru tancep kayon. Uh, dasar!-







WAYANG GEBLUNG - Grenengane Gareng



Ini memang wayang gemblung. Ki Dalang memulai adegan pertama dengan menyambar Gareng. Tanpa jejer kedhaton dalam pathet 6, tetapi langsung pathet 9, dan begitu Kayon dibedhol, Gareng langsung leyeh-leyeh  sambal grenengan: “Wong edan! Masak Ksatriyan Pringgodani Kidul (KPK) mau dipindahkan ke Kutub Utara supaya beku. Memang mau dibuat segar dingin apa? Kalau air dibuat es campur sirup enak! Tapi kalau ksatriyan dibuat es. Apa klakon jualan Es KPK? Gemblung tenan! Kalau Ksatriyan itu diboyong ke kutub utara, apa gak semakin merajalela itu grombolan pencoleng yang bersekongkol di dewan penjarah rupiah! Dasar wong edan! Dhuh dewa jawata gung…nyuwun apura”

Makbedunduk! Tiba-tiba Bethara Narada sudah berdiri di depannya. Gareng terkejut.

Legenjong…legenjong….kanthong bolong ditambal gemblong. Kernapa kamu memanggil-manggil dewa? Kamu itu sedang ngapain, Nala Gareng?” tanya Narada.

“Adhuh pukulun, ngejawantah kok tiba-tiba? Mbok direncanakan dulu, biar saya siap-siap ,menyambut dengan perayaan, wong pukulun itu “yang terhormat”

“Jangan nyindir kamu, Nala Gareng. Yang butuh sebutan “yang terhormat” itu para wakil rakyat. Bisa marah mereka kalau tidak pakai embel-embel “yang terhormat”.

Gareng tertawa terkekeh-kekeh.

“Pukulun itu ada-ada saja. Jabatannya terhormat, tetapi kalau perilakunya sehari-hari hanya menjarah rupiah dan membohongi para kawula, di taruh mana kehormatannya hahaha……”.

Bethara Narada ikut tertawa. Badannya sampai terguncang. “Legenjong..legenjong…kerjanya bohong sama nyolong tetapi sombong. Kamu benar Nala Gareng. Tetapi jangan keras-keras. Kalau kedengaran yang bersangkutan bisa marah mereka”.

(Ki dalang minta petugas mengecilkan suara loudspeaker supaya gak kedengaran sampai negeri seberang).

“Pukulun, terus terang saya memang lagi mikir ulah para penjarah rupiah. Mereka mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara supaya beku, jadi es. Lha apa itu tidak berarti memberikan ruang bagi para penjarah untuk berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat?”

“Hehehe… dewan penjarah rupiah itu isinya memang bangsanya penjarah, begal, rampok, kecu, makanya usulannya aneh-aneh. Sekarang mereka gerah karena tidak bisa menjarah, makanya omongannya gak karu-karuan”, ujar Bethara Narada.“Tetapi orang-orang seperti kamu yang hanya punakawan memang harus sabar, Nala Gareng”

“Sabar bagaimana pukulun. Orang-orang yang seharusnya berada di barisan Pandawa, membela keberadaan Ksatriyan Pringgodani Kidul, lha kok bersekongkol dengan para kurawa? Ini bagaimana? Itu kan bikin tertawa Sengkuni. Oh iya pukulun, Sengkuni sekarang di mana ya? Kok gak ada suaranya”.

“Sengkuni sedang sembunyi Nala Gareng. Tetapi siapa yang mau memboyong Ksatriyan Pringgodani Kidul ke Kutub Utara?”

“Wah pukulun Narada pura-pura tidak tahu atau apa?”

“Nala Gareng, sebagai dewa saya memang melihat kekacauan yang luar biasa. Karena itu siapa yang kamu maksudkan, tolong jelaskan”

“Itu lho pukulun, Haryo Yaksoningratan, lha kok tiba-tiba mau memindahkan Ksatriyan Pringgodani Selatan ke kutub selatan supaya beku. Ini kan kelanjutan dari ulah Maeso Pasirewon yang gayanya seperti Dursasana. Apa itu memang pendapat resmi Padepokan Durgandini Ibu Prameswari? Kok sepertinya mereka memang mau menyudutkan Prabu Yudistira? Apa mau menjodohkan Yudistira dengan sang Prameswari?”

“Lho…lho…lho kok seperti itu to Nala Gareng?”

“Lha saya ini malah mau tanya pukulun, je. Kalau berlarut-larut saya akan menggugat kahyangan. Saya mau kerahkan para punakawan untuk demo di kahyangan. Emangnya cuma grombolan kathok komprang yang bisa demo”.

“He…he…he…. Nala Gareng, tidak usah ikut-ikutan demo. Prabu Yudistira sudah menunjukkan taringnya. Kumisnya sedang diplintir-plintir. Walaupun kelihatan lucu, tetapi kayaknya dia marah karena Amarta mau diacak-acak. Grombolane kathlok komprang sedang mendelep. Mereka lagi ndhelik karena ketahuan bahwa mereka pemegang saham PPUK”

“Apa itu PPUK, pukulun?”

“Perusahaan Penyedia Ujaran Kebencian. Banyak bukti siapa-siapa pemegang saham perusahaan itu”

“Iya pukulun. Photonya tersebar di mana-mana, tertawa-tawa bareng tetapi mereka pada mengaku gak kenal dengan agen perusahaan itu? Lha wong photo bareng rame-rame kok ngakunya gak kenal? Memangnya mereka itu selebriti kacangan, diajak photo orang yang gak kenal dilayani”

“Lha biasa to Nala Gareng. Kalau sudah ada yang ketangkep semua ngaku gak kenal. Lihat saja kasus penjarahan rupiah. Siapa yang mengaku kenal dengan orang yang naruh gong? Gak ada to. Padahal orang-orang itu ngangkat gongnya sama-sama trus ditaruh di sana.”

“Pukulun itu bicara apa to? Kok ada yang naruh gong, ada yang ngangkat. Apa mereka itu nayaga? Kalau nayaga mestinya nabuh gamelan. Tidak naruh gong……. Saya itu lagi grenengan soal Ksatriyan Pringgodani Kidul yang akan diboyong ke Kutub Utara supaya beku. Lha kok pukulun malah ngambra-ambra gak karuan, nyinggung-nyinggung naruh gong”

"Lha jangan salah Nala Gareng. Semua itu ada kaitannya. Kamu lihat, wakil ketua dewan penjarah rupiah itu pada mbelani Sarpa Naka. Ada yang kirim surat ke punggawa Ksatriyan Prionggodani Kidul supaya pemeriksaan Sarpa Naka ditunda. Padahal mereka tidak berasal dari ksatriyan yang sama. Yang dari ksatriyan Gendrayana minta supaya Sarpa Naka jangan dipriksa dulu. Ini kan aneh. Tetapi wong mereka itu satu grombolan. Malah ada wakil yang di ksatriyannya diusir, tidak diakui sekarang entah dari ksatriyan kabur kanginan apa ksatriyan cleret tahun….”

“Lho, ksatriyan cleret tahun itu apa to pukulun?”

“Lha wong dia itu sudah dibuang dari ksatriyan tetapi masih magrok di cakruk dan kerjanya bikin rebut sampe mulutnya mencong-mencong, kalau bengesan sampai pipi. Itu kan dari ksatriyan angin ribut, bahasa jawanya cleret tahun. Itu satu grombolan, Nala Gareng. Dulu mereka itu datang ke atas angin ketika Burisrawa mencalonkan diri jadi raja”.

Gareng manggut-manggut, baru mengerti kait-mengkaitnya satu cerita dengan cerita yang lain.

“Lha kalau soal pengungsi dari negeri Burmaningratan itu bagaimana pendapat pukulun? Ada yang usul supaya disiapkan satu pulo untuk menampung mereka” Tanya Nala Gareng.

“Eh….kenthos gembol monyor-monyor …. Itu usulannya orang keblinger. Cekak nalarnya. Cekak seperti model celananya. Lha kalau mereka ditampung trus nanti mereka tidak mau mendukung ksatriyannya, kalau mati gak dishalatkan. Lha kepriwe jal……?”

Gareng kaget. Langsung dia berdiri di kursi sambal teriak, “Ki dalang..ki dalang, tancep kayon saja………………..” Ki dalang langsung mancal kothak trus tancep kayon. Gareng dan Narada ditutupi kayon. Dasar wayang gemblung, wong masih pathet 9 kok tancep kayon. Mestinya selesaikan dulu grenengannya, naik pathet manyura, perang brubuh trus ayak-ayak pamungkas sambil golekan jejogedan, baru tancep kayon. Uh, dasar!-




Kawruh Budaya Jawa - Mitoni



Kawruh Budaya Jawa - Mitoni



Mitoni atau Tingkeban





Pengertian Umum



            MITONI, adalah upacara (ritual) tujuh bulanan usia kandungan (untuk kandungan anak pertama). Biasa disebut dengan istilah tingkeban. Kenapa tujuh? Kenapa tidak satu, dua, atau tiga? Dalam perhitungan orang Jawa, kandungan yang berusia tujuh bulan itu penting karena dianggap telah cukup umur, yaitu wujud janin sudah lengkap. Dalam ilmu kebidanan hal itu juga dibenarkan, yaitu bahwa janin dalam usia tujuh bulan sudah siap untuk lahir. Dengan demikian   seorang perempuan yang kandungannya berusia tujuh bulan, telah siap melahirkan bayinya. Karena itu penting baginya untuk dimohonkan keselamatan dari Penguasa Kehidupan, agar proses kelahirannya nanti berjalan lancar. Sebenarnya dalam adat Jawa, juga ada upacara satu bulan usia kandungan, dua bulan, dan seterusnya. Bahkan ada upacara 9 bulan yang disebut Procotan. Tetapi upacara-upacara itu biasanya dilakukan kecil-kecilan dan hanya dihadiri keluarga.

            Upacara mnitoni dalam budaya Jawa, ditandai dengan memandikan perempuan yang hamil dengan mengguyur seluruh tubuh dari ubun-ubun hingga kaki (yang disebut wuwung). Tujuan upacara itu selain untuk membersihkan diri juga disertai harapan anak yang dikandung dapat lahir dengan selamat. Itulah inti upacara mitoni.

            Upacara mitoni diadakan pertama kali atas petunjuk Prabu Jayabaya di Kediri. Menurut ceritanya, waktu itu ada sepasang suami isteri yang sangat mengharapkan anak. Sang suami bernama Sedya dan isterinya Niken Satingkeb. Sudah sembilan kali isterinya hamil tetapi selalu keguguran. Mendengar hal itu Prabu Jayabaya yang dikenal sangat dekat dengan rakyat dan dapat mengetahui hal-hal yang gaib (di luar alam manusia), menyuruh Sedya dan Niken Satingkeb menjalani laku. Wujud laku itu adalah mandi air tawar dengan mengguyur seluruh tubuhnya dari ubun-ubun hingga kaki (adus wuwung), pada hari Rabu (Buda) dan Sabtu (Tumpak) pada jam 17.00. Pada usia kehamilan ketujuh bulan, keduanya mandi wuwung dengan air yang diambil dari tujuh sumber (sumur). Sesudah mandi mereka berdua berganti pakaian yang rapi.

               Dalam kehamilannya yang ke sepuluh, pada waktunya bayi yang dikandung Niken Satingkeb lahir dalam keadaan selamat. Sejak saat itu rakyat dianjurkan untuk melakukan ritual tingkeban (tujuh bulanan) agar bayi dalam kandungan selamat.

               Jadi sebenarnya upacara mitoni adalah puncak dari laku tadi. Upacara itu kemudian disebut dengan ningkebi atau tingkeban (dari nama Niken Satingkeb). Dalam upacara mitoni, yang menjadi pusat perhatian adalah ibu yang sedang hamil. Inti upacara mitoni adalah memohon keselamatan kepada Tuhan agar bayi yang dikandung oleh si ibu lahir dengan selamat, demikian juga orang tuanya diberi keselamatan (kayuwanan). 



Ubarampe Upacara Tingkeban   



            Untuk acara tingkeban itu ubarampe yang harus disediakan antara lain:

  1. air dari tujuh sumber (sumur, tuk, pancuran, kali, tempuran, sendhang, belik, atau tujuh sumur)
  2. kembang setaman (7 jenis kembang)
  3. dua buah cengkir gadhing yang digambari Wisnu dan Dewi Sri (ada yang mengatakan gambar Kamajaya dan Kama Ratih),
  4. busana tujuh macam
  5. buwangan (sesaji 7 macam yaitu pecok bakal dan jeroan, kluwak, kemiri, kacang tholo,  brambang bawang, gereh pethek, dan telor ayam). Buwangan itu ditanam di tujuh tempat: kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil (pekiwan), sumur, padangan (tempat menanak nasi atau dapur), patehan atau jayengan (tempat membuat teh),  
  6. Tujuh sajen berupa jodhok (pelita), empluk kluwak atau bumbu-bumbuan, lauk pauk gorengan, jenang tujuh macam yaitu jenang lemu, jenang baro-baro, jenang katul, jenang abang, jenang putih, jenang abang-putih, jenang pliringan; tujuh tumpeng dengan telor tujuh butir; beras, kendhi, uang,m dan sisir; serta pisang raja setangkep.
  7. Makanan untuk slametan terdiri dari 7 macam: a) jajan pasar, b) tujuh macam juadah dan kudapan kacang-kacangan; c) pisang raja setangkep, d) tumpeng, sega asahan, sega golong, sega wuduk lengkap dengan lauk pauknya (terutama ingkung dan kuluban), e) bancakan untuk anak-anak, f) rujak gobet dari 7 macam buah, dan g) takir ponthang (isinya berbagai jenis alat dari logam termasuk perhiasan).



Jalannya Upacara



      Upacara tingkeban biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu Wage (dalam pengertian orang Jawa kata sabtu wage mengandung maksud metune ben age-age, lahirnya segera atau lancar). Orang Jawa selalu cermat dalam memilih kata dan maknanya  (sekarang sering diplesetkan: setu legi – setengah tuwa lemu ginuk-ginuk). 

      Upacara itu terdiri dari 7 macam:  sungkeman, siraman, januran, brojolan, busanan, deganan, dan wilujengan atau slametan.Upacara tersebut dilaksanakan setelah dilakukan serta sesaji diletakkan di trmpat-tempat yang dianggap wingit. Adapun urut-urutan acara adalah:

  1. Sungkeman yaitu ibu yang hamil didampingi suaminya melakukan sungkem kepada orang tua dan orang-orang yang dituakan.
  2. Siraman, yaitu memandikan ibu hamil dengan air bunga setaman. Mula-mula kedua orang tuanya lalu 7 orang ibu yang dituakan. Setelah itu ibu mertuanya memecahkan kendhi yang berisi air di tempat siraman;
  3. januran, memotong janur yang dililitkan di tubuh ibu yang hamil. Jadi sebelum upacara siraman dilakukan, ibu yang hamil dililit janur kuning. Makna warna kuning pada janur itu adalah kayuwanan atau keselamatan.
  4. brojolan, yaitu meluncurkan dua buah cengkir gadhing melalui sela-sela kain yang dipakai. Seperti misalnya memakai sarung, dipegang ujungnya lalu cengkir gadhing itu dijatuhkan dari atas. Cengkir gadhingh itu selam,a siraman sudah diemban oleh seorang ibu yang kemudian diserahkan kepada ibu yang hamil saat akan dipakai upacara;
  5. busanan, memakaikan pakaian yang bersih kepada ibu yang hamil;
  6. deganan, membelah cengkir gadhing yang bergambar kamajaya dan kamaratih. Air degan yang dari cengkir itu diminum suami isteri;
  7. wilujengan adalah upacara slametan (kenduri), dan makan bersama.



               Bagi orang yang berkecukupan harta, upacara tingkeban atau mitoni biasanya disertai upacara besar dilengkapi dengan nanggap wayang. Cerita atau lakon yang ditampilkan biasanya lahirnya tokoh-tokoh idola, misalnya lahirnya Gatotkaca, atau lahirnya Wisanggeni. Dalam nanggap wayang dengan cerita-cerita itu, terkandung harapan  anak yang akan lahir kelak dapat menjadi ksatria idola.

                

Sikap kita



            Bagaimana kita menyikapi permintaan atau warga gereja yang menginginkan dilakukannya upacara mitoni? Dalam PPA GKJ ada semacam petunjuk, yaitu membuang “kerohaniannya” yang tidak sesuai dengan kekristenan. Dulu pernah ada yang mengomentari, sikap ini ambigu atau apalah. Menurut saya gampang saja, kalau ada warga yang bertanya dan mau mengadakan upacara mitoni, lakukan saja. Intinya adalah memohon keselamatan kepada Tuhan. Sedangkan bentuknya bisa dengan bidston atau kebaktian rumah tangga. Tetapi bagaimana kalau ada yang menghendaki dilakukannya upacara  sesaji dan buwangan?

Sebenarnya buwangan dan sesaji itu diletakkan di tempat-tempat tertentu itu karena menurut pemahaman orang Jawa, di tempat-tempat itu ada kekuatan (daya) yang menjadi penjaga. Siapa mereka itu? Bukan siapa-siapa tetapi roh para leluhur yang sudah men-Hyang (mendiang, menjadi Hyang atau berkumpul dengan Hyang). Mereka yang berkumpul dengan Hyang itu lalu ditugasi oleh Hyang menjadi penjaga keturunannya. Hal itu yang memberi bobot pada kesadaran orang Jawa akan asal-usul, sangkan paran (bandingkan dengan orang kudus yang menjadi penjaga di Katholik).

Dulu sebelum masuknya agama Islam, setiap rumah memiliki tempat pamujan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya pada leluhur (seperti yang ada di Bali). Agama Islam di jaman kerajaan Demak, hal itu dianggap bertentangan dengan akidah Islam. Tempat pemujaan pun menghilang dari rumah-rumah orang Jawa. Tetapi gantinya, orang Jawa meletakkan buwangan dan sesaji di tempat-tempat yang dianggap wingit, termasuk di perempatan jalan.

            Tetapi sekarang banyak orang tidak mengerti maknanya dan dianggap memuja setan. Nah, kalau hal itu merepotkan ya tidak perlu diadakan ubarampe yang macam-macam, apalagi pakai buwangan. Pertimbangannya praktis saja: repot! (Tidak perlu diembel-embeli dengan penjelasan yang dogmatis) Sebab kalau tidak tahu kan malah bikin susah

Segala sesuatu yang diatur secara rinci itu sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam, yaitu agar orang yang menyelenggarakan upacara tersebut melaksanakannya dengan serius, cermat dan berkonsentrasi pada permohonan kepada Tuhan akan keselamatan tersebut. Itu intinya! Sebab ketika meracik yang kecil-kecil, seseorang dituntut untuk menyatukan kehendak, manembah dan  memohon kepada Tuhan. Spiritualitas Jawa memaknai segala sesuatu yang dilakukan sebagai panembah. Itu merupakan kekayaan yang seharusnya dikembangkan oleh Gereja. (mBah MO dari berbagai sumber)




Kawruh Budaya Jawa – Manton



Kawruh Budaya Jawa – Manton



Beberapa Pengertian Dalam Acara Manton 




Salah satu kebahagiaan orang tua adalah apabila seseorang dapat mengantarkan anaknya melangsungkan perkawinan. Dalam alam budaya Jawa, mengantarkan anak melangsungkan perkawinan bahkan merupakan kewajiban. Maka menyelenggarakan upacara manton juga disebut melaksanakan dharmaning asepuh.

Ada beberapa sebutan yang dikenakan pada orang tua yang mengantarkan anaknya. Salah satu sebutannya adalah manton. Manton adalah hajatan mengawinkan anak perempuan. Ada yang menyebut mantu, sehingga mantu memiliki dua pengertian yaitu hajatan mengawinkan anak perempuan dan anak laki-laki yang menjadi suami anak yang dikawinkan. Tetapi yang benar untuk hajatan adalah manton, berasal dari kata mantu.

Dalam penafsiran salah kaprah (jarwo dhosok), kata mantu sering ditafsirkan sebagai sing dieman metu. Dalam konteks masyarakat Jawa jaman dulu, anak perempuan selalu dipingit, atau “disimpan” di dalam rumah sebagai harta yang sangat berharga.  Anak perempuan tidak diperbolehkan bergaul dengan sembarang orang, atau pergi ke sembarang tempat tanpa pengawalan. Perkawinan anak perempuan di usia muda (bahkan belum mengalami menstruasi) merupakan hal yang biasa. Di daerah pedesaan bahkan anak-anak perempuan berusia 12 tahun sudah banyak yang dikawinkan. Anak-anak itu disayang (dieman) oleh orang tuanya karena akan mendatangkan kebahagiaan bagi keluarganya, selain mendatangkan kekerabatan yang lebih luas, dari rahimnya akan lahir anak-anak dan anak identik dengan rejeki (berkat).

Dalam pemahaman seperti itu anak perempuan menjadi “barang berharga yang sangat disayang (dieman), dan hanya boleh ke luar rumah setelah ada yang memilikinya yaitu suami. Karena itu manton merupakan hajatan orang tua pengantin perempuan.Dalam pengertian seperti itu, orang tua yang mengantarkan anak laki-lakinya melangsungkan perkawinan disebut ngentasake (mengentaskan). Kata itu berasal dari kata entas yaitu keluar dari air (berendam). Jadi orang tua dari pihak laki-laki tidak melakukan upacara manton.

Memang kadangkala ada hajatan perkawinan diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki, tetapi di Jawa hal itu tidak umum. Upacara perkawinan yang diselenggarakan oleh orang tua pengantin laki-laki biasanya terjadi karena beberapa hal.

      Pertama, anak gadis yang sudah tinggal di rumah laki-laki sebelum mereka menikah. Sebutan untuk itu adalah ngambruk. Dalam kehidupan masyarakat ngambruk  dinilai sebagai tindakan yang melanggar tatakrama sosial, namun dalam kenyataannya keadaan seperti itu sering terjadi. Penyebab ngambruk adalah orang tua anak perempuan tidak setuju anaknya dinikahi laki-laki yang pilihan anaknya (atau dipaksakan oleh orang lain tetapi anak perempuannya bersedia), sehingga anak gadisnya melarikan diri dari rumah dan ngambruk di rumah laki-laki pujaannya.

      Apabila hal itu terjadi maka orang tua gadis itu akan mencoret anaknya dari daftar ahli warisnya sebagai tanda kemarahannya. Ngambruk berasal dari kata dasar ambruk, yang berarti roboh atau tumbang. sesuatu yang berdiri tegak tiba-tiba tidak tegak lagi.

Kedua, upacara perkawinan (panggih dan ijab) yang dilaksanakan oleh pihak (orang tua) pengantin laki-laki itu karena ada kalanya pengantin putri tidak lagi memiliki orang tua, atau tidak bisa melaksanakan mantu karena sesuatu hal. Untuk keadaan seperti itu mantu dilaksanakan oleh pihak pengantin laki-laki. Upacara mantu seperti itu disebut  dhaup triman.

Selain dhaup triman, ada perkawinan yang disebut rabi triman yaitu seorang laki-laki yang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang merupakan pemberian atau hadiah dari raja atau bisa juga anak atau cucu raja. Dalam hal itu triman memiliki pengertian pemberian (yang diterimakan).

Menurut adat kraton, seorang anak atau cucu (perempuan), keluarga kerajaan apabila akan melangsungkan perkawinan dengan orang di luar kraton harus keluar dari lingkungan kraton. Karena harus keluar dari kraton, tidak mungkin perkawinan dilakukan oleh pihak perempuan, maka pelaksanaannya dilakukan oleh pihak laki-laki, walaupun pihak kraton merestui perkawinan tersebut..

Lawan kata dari ngambruk adalah ngurung. Yang disebut ngurung karena anak laki-laki (calon pengantin) sudah tinggal di rumah orang tua gadis yang dicintainya sebelum pernikahan. Mengenai sebab-sebab terjadinya keadaan ini sama dengan ngambruk, tetapi terjadi pada pihak laki-laki. Dalam masyarakat Jawa, keadaan seperti itu sering menjadi gunjingan masyarakat sekitarnya karena tidak sesuai dengan adat istiadat. Namun ada masyarakat yang menganggapnya sebagai sebagai suatu keharusan bahwa anak laki-laki yang akan kawin dengan seorang gadis sudah tinggal serumah terlebih dahulu di rumah orang tua si gadis, yang disebut magangan. Adat yang seperti itu berlaku di masyarakat Samin.



Proses Lamaran



Perkawinan di Jawa pada jaman dahulu terjadi dalam sebuah proses yang panjang. Dalam adat Jawa dulu, karena anak perempuan selalu berada dalam pingitan (dipingit), anak laki-laki tidak dapat leluasa bergaul dengan anak perempuan. Apabila tiba waktunya seorang anak laki-laki ingin menikah, maka yang dapat dilakukan hanyalah mencari kabar tentang orang-orang yang memiliki anak perempuan yang sudah gadis. Setelah memperoleh kabar bahwa di suatu tempat ada seorang anak perempuan yang sudah gadis, maka anak laki-laki itu menyatakan kepada orang tuanya akan keinginannya untuk meminang gadis yang dimaksud.

Langkah pertama yang akan dilakukan adalah nontoni,  yaitu proses melihat (mengecek) atau menyaksikan anak gadis yang ingin dipinang. Untuk melakukan pengecekan mengenai kabar tersebut sekaligus meminang, orang tua anak laki-laki itu akan mengutus congkok. Seorang congkok harus pandai berbicara dan pandai menilai keadaan seseorang dan keluarganya.

Arti kata congkok adalah penyangga. Dalam proses perkawinan utusan yang disebut congkok tersebut berfungsi sebagai penyangga perkawinan yaitu mewakili orang tua anak laki-laki untuk meminang seorang gadis. Tugas congkok antara lain: a) menjajagi kemungkinan mempertemukan kepentingan keluarga dari anak laki-laki dengan keluarga anak perempuan; b) memperkenalkan keadaan anak laki-laki kepada keluarga orangtua gadis, dan sebaliknya; c) mewakili keluarga anak laki-laki untuk meminang anak gadis yang dimaksud; d) membantu kedua keluarga dalam hal perjodohan pemuda dengan gadis yang dimaksud.

Apabila orang tua gadis itu setuju untuk menerima maksud kedatangan congkok untuk meminang  anaknya, orang tua gadis lalu menyuruh anak gadis yang dimaksud untuk menghidangkan minuman kepada tamu. Saat itulah congkok melihat dan memberikan penilaian terhadap gadis yang dimaksud. Hasil pengamatannya itulah yang harus dilaporkan kepada orang tua anak laki-laki. Salah satu hal penting yang harus diperoleh oleh congkok tersebut adalah hari lahir dan weton si gadis dan latarbelakang keluarganya. Hal itu dianggap penting karena akan digunakan sebagai dasar menghitung keberuntungan masa depan rumah tangga yang baru itu. Dalam hal ini, primbon menjadi pegangan utama dalam menghitung peruntungan.

Setelah melalui percakapan yang panjang, dengan berbagai pertimbangan yang matang termasuk cara-cara menyiasati hal-hal yang kurang baik manakala ada ketidakcocokan dalam mencocokkan perhitungan hari kelahiran (petung weton) maka congkok tersebut akan kembali kepada orang tua anak perempuan itu untuk melakukan lamaran. Upacara lamaran berisi permintaan dari utusan keluarga laki-laki kepada orang tua seorang gadis. Tujuan lamaran adalah meminta ijin dari orang tua agar anak gadisnya dipinang oleh anak laki-laki tersebut. Maka proses selanjutnya adalah persiapan-persiapan menuju perkawinan.

Lamaran bisa dilakukan secara langsung melalui congkok, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara tertulis melalui surat. Jaman dulu, jarang dilakukan lamaran melalui surat. Selain bahasa tulis yang masih jarang digunakan, proses lamaran yang dilakukan secara langsung (lisan) akan memperoleh jawaban langsung pula.

Setelah lamaran diterima maka pihak laki-laki harus memberikan tanda ikatan yang disebut peningset. Peningset itu diserahkan pihak calon penganten laki-laki kepada pihak calon penganten perempuan pada waktu yang telah ditentukan, dengan disaksikan tamu-tamu yang diundang oleh pihak tuan rumah. Biasanya tamu yang diundang hanya handai taulan dan tetangga di sekitar rumah. Adapun cincin yang ada dalam hantaran, saat itu juga dikenakan oleh kedua pengantin dalam acara tukar cincin.

Peningset diberikan oleh pihak laki-laki sebagai tanda ikatan (pengikat) bahwa dia benar-benar akan meminang gadis yang dimaksud, sekaligus tanda bahwa gadis itu telah dipinang. Peningset juga disebut tukon atau pitukon. Namun kata tukon atau pitukon jarang digunakan karena memiliki konotasi negatif. Sebab kata tukon atau pitukon berasal dari kata dasar tuku yang artinya beli.

Tukon atau pitukon berarti sarana untuk membeli. Adapun peningset itu terdiri dari pakaian penganten perempuan lengkap, cincin emas, pakaian untuk nenek orang tua penganten perempuan, uang yang biasanya merupakan sumbangan untuk hajatan, bahan mentah makanan (abon-abon).

Kelengkapan peningset disebut sanggan peningset, adalah jajan pasar lengkap, pisang ayu setangkep (dua sisir pisang raja), sirih yang  tulang daunnya bertemu (suruh ayu temu ros), tebu hitam (tebu wulung), jeruk yang bulat tidak cacat (jeruk gulung), nasi berbentuk bulat (sega golong), dan sepasang kelapa kuning (klapa gadhing). Sanggan peningset itu dibawa serta dalam upacara singsetan.



Hajatan



Setelah proses lamaran dan singsetan, maka giliran pihak perempuan yang mulai sibuk. Untuk mempersiapkan perkawinan, banyak hal yang harus dipersiapkan termasuk mencari hari yang baik untuk melaksanakan hajatan.Dalam mencari hari yang baik untuk hajatan itu. Kini giliran orang tua calon pengantin perempuan yang harus melakukan perhitungan (petung) berdasarkan primbon. Biasanya bulan-bulan yang disengker adalah bulan Pasa dan Sura. Karena itu banyak hajatan dilangsungkan pada bulan Ruwah dan Besar yaitu menjelang bulan-bulan sinengker itu. Banyak orang percaya hajatan di bulan Sura akan mendatangkan petaka.

Bagi orang Jawa bulan Sura dianggap sebagai bulan yang wingit. Kepercayaan itu berasal dari Sultan Agung ketika mula memperkenalkan tahun Jawa yang merupakan perubahan dari tahun Saka Sultan Agung mengubah sistem penanggalan tahun Saka menjadi Tahun Jawa pada tahun (surya sengkala) 1556 atau tahun Hijriah 1044. Tahun Saka yang semula menggunakan pedoman rotasi matahari diubah dengan menggunakan perhitungan rotasi bulan.Dengan perubahan sistem penanggalan dari surya sengkala menjadi candra sengkala, maka tahun Jawa lebih cepat 512 dari tahun Hijriah, sedangkan terhadap tahun Masehi masih lebih lambat 78 tahun. Nama-nama bulan pun diubah dari sansekerta dengan nama Arab – Jawa.

Penghitungan untuk mencari hari itu dilakukan dengan seksama yang pada dasarnya untuk menghindari hari-hari naas yang membawa celaka bagia pengantin maupun yang empunya hajat. Setelah semuanya beres, maka barulah rencana hajatan itu diberitahukan kepada sanak saudara dan tetangga. Pemberitahuan itu disebut salaran. Jadi  salaran adalah pemberitahuan akan dilaksanakannya sebuah perkawinan. Pemangku hajat tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri. Orang itu akan mengundang sanak saudara, handai taulan dan tetangga-tetangga dekatnya untuk membantu hajatan tersebut (sambatan). Pada saat mereka berkumpul itulah pemangku hajat menyampaikan maksudnya (ujub), dan semua yang hadir mendengarkannya. Salah satu bantuan yang diperlukan oleh pemangku hajat adalah menyampaikan undangan kepada tetangga, saudara, teman, kerabat dan lain-lain. Pada saat itu mereka yang hadir mendengarkan dengan baik tugas yang dibebankan kepadanya..

Pertemuan untuk membentuk panitia sekaligus membagi tugas untuk melakukan salaran itu disebut kumbakarnan. Istilah kumbakarnan berasal dari kata kumba yang berarti beradu, dan karna yang berarti telinga.  Mengadu telinga yang berarti mengadu pendengaran. Jaman dulu dalam masyarakat Jawa banyak orang yang belum bisa baca tulis dan alat komunikasi pun masih sangat terbatas. Sehingga para petugas (panitia) hanya mengandalkan pendengarannya ketika menerima tugas.



Penutup



Itulah awal sebuah pesta perkawinan dalam budaya Jawa, sebelum dilakukannya hajatan. Mengingat perkawinan dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya memang belum berkenalan (apalagi pacaran), maka kemudian lahirlah istilah witing tresna jalaran saka kulina. Tak ada cinta sebelum perkawinan, bahkan tak ada perkenalan. Karena itu cinta tumbuh sejalan dengan perkembangan perkawinan.

Dalam keadaan seperti itu perempuan memang merupakan pihak yang hanya sekadar subordinasi dari laki-laki. Padahal laki-laki Jawa memiliki lima kebanggaan yang harus diupayakan sebagai simbol keberhasilan: wisma, turangga, kukila, wanita, curiga. Wisma adalah rumah, tempat tinggal yang merupakan kediaman, turangga adalah kuda yang secara umum ditafsirkan sebagai kendaraan; kukila adalah hobi atau kesenangan (klangenan) yang merupakan lambang kehidupan spiritual, dan wanita adalah isteri yang menunjang keperwiraan. serta curiga (pusaka), sesuatu yang diandalkan. Semua itu tidak dapat dilepaskan dari laki-laki.

Kini istilah witing tresna jalaran saka kulina tidak lagi terdengar. Manton tidak lagi merupakan ritual tetapi merupakan entertainment, sebuah pertunjukan. Karena itulah banyak event organiser, penjual jasa pengorganisasi hajatan. Praktis sekali!** (mBah MO, dari berbagai sumber)




Kawruh Budaya Jawa - Brobosan



Kawruh Budaya Jawa - Brobosan


Dalam pemahaman orang Jawa, seseorang yang meninggal berarti mengadakan perjalanan ke alam kelanggengan. Untuk mengantarkan jenazahnya, dilakukan rangkaian upacara penghormatan. Brobosan adalah bagian dari rangkaian upacara mengantar jenazah orang tua. Kenapa hanya jenazah orang tua? Apakah untuk jenazah anak-anak tidak dilakukan penghormatan tersebut?

Dalam kehidupan manusia pada umumnya, orang tua dianggap sebagai yang telah menjadikan seseorang hidup di dunia ini. Dari orang tualah benih keberadaan seseorang. Karena itu orang tua wajib dihormati. Tidak ada suku, agama, dan kepercayaan yang memiliki ajaran untuk tidak menghormati orang tua. Bahkan seseorang yang bertindak tidak senonoh kepada orang tua dikatakan kurang ajar! Dalam kehidupan Israel di Perjanjian Lama ada hukum yang sangat dipatuhi, “Hormatilah orang tuamu, agar dipanjangkan umurmu di tanah perjanjian”.

Di dalam Serat Wulang Reh karya PB IV ditulis dalam pupuh Maskumambang, “(10) Pramilane Rama Ibu den bekteni, kinarya jalaran anane badan puniki, wineruhken padhang hawa; (11)  Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widhi, mulane wajib sinembah”.

Didasari pemahaman seperti itu, penghormatan kepada orang tua harus tetap ditunjukkan hingga orang tua meninggal. Bahkan ketika orang tua sudah berada di alam lain, kuburan orang tua masih harus dirawat. Orang Jawa memiliki ungkapan, mikul dhuwur mendhem jero yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua (dan leluhur).

Penghormatan kepada jenazah orang tua (atau leluhur langsung) di kalangan orang Jawa dilakukan dalam beberapa tahap yang sering disebut dengan pangrukti layon: (1)  memandikan jenazah, (2) mendandani (dandos) dengan pakaian, (3) mendoakan, (4) memakamkan, (5) memule (merawat makam, menghormati leluhur)..

Jalannya Upacara Brobosan

Brobosan merupakan bagian dari upacara pemakaman. Kata brobosan berasal dari kata brobos yang artinya menerobos atau menelusup lewat lubang. Dalam rangkaian upacara pemakaman, brobosan merupakan salah satu bagian dari upacara.  Sebelum diberangkatkan dari rumah, keranda diangkat ke luar rumah lalu berhendi di halaman. Oleh para pengusung, keranda itu diangkat agak tinggi, lalu seluruh anak cucu beriringan berjalan melalui bawah keranda sebanyak tiga kali mengelilingi pengusung dengan arah sesuai jarum jam. Yang berjalan paling depan adalah anak perempuan paling kecil (dan keluarganya, kalau sudah menikah) diikuti kakak-kakaknya lalu diikuti para  cucu.
Upacara brobosan hanya dilakukan terhadap jenazah orang tua, dimaksudkan sebagai tanda bakti dan penghormatan keluarga terhadap yang orang yang meninggal sekaligus keikhlasan melepas jenazah.

Setelah brobosan selesai, seorang perempuan anggota keluarga (biasanya kakak atau adik perempuan yang meninggal), memecahkan kendhi berisi air (atau genteng rumah) di depan jenazah, lalu menyapu jalan yang akan dilalui dengan sapu lidi. Upacara tersebut melambangkan penyiapan jalan agar perjalanan jenazah/roh yang meninggal lancar dan jalannya lurus (tidak berliku-liku). Dalam perjalanan ke makam, layon dipayungi oleh salah seorang anggota keluarga, sementara anggota keluarga yang lain menaburkan sawur berupa beras kuning, bunga, atau mata uang logam.

Semua taburan (sawur) itu menyimbolkan sesuatu yang bermakna. Bunga menyimbolkan bau harum yang ditebarkan, uang logam menyimbolkan rasa sosial kepada sesama, dan beras kuning menyimbolkan kayuwanan, yang mengandung harapan akan keselamatan. Di kalangan orang Jawa keberangkatan jenazah ke makam sering diiringi pembakaran kemenyan atau dupa, yang sebenarnya merupakan sarana untuk berhubungan dengan Yang Maha Kuasa karena di balik pembakaran kemenyan itu terungkap doa agar roh atau arwah yang meninggal selamat dalam perjalanan ke alam kelanggengan.

 Bagaimana Gereja Menyikapi?

Menurut pemahaman Kristen, setiap orang harus mempertanggungjawabkan seluruh kehidupan imannya sendiri. Banyak ayat yang dipakai untuk mendasari dogma kristen bahwa setelah meninggal, seseorang langsung berada di pangkuan Bapa di Surga. Itu sebabnya dalam agama kristen tidak ada doa untuk arwah. Seolah-olah yang terjadi adalah putusnya hubungan antara orang yang sudah meninggal dengan orang-orang yang ditinggalkan. Itu sebabnya kebaktian pemakaman atau kebaktian penghiburan tidak pernah ada ungkapan yang mendoakan orang yang sudah meninggal. Pusat ibadah kristen dalam kaitan dengan orang meninggal adalah keluarga yang ditinggalkan. Pertanyaannya, apakah upacara brobosan bertentangan dengan agama Kristen?

Kalau melihat pemahaman dan jalannya upacara brobosan, ada yang perlu dicatat: yaitu brobosan adalah upacara (ritual) adat yang merupakan ungkapan penghormatan kepada orang tua. Bukankah pangrukti layon dengan memarawat secara pantas adalah bentuk ungkapan penghormatan tersebut? Tidak ada muatan rohani di dalam ritual brobosan yang bertentangan dengan ajaran kristen. Yang patut dicermati adalah bagian nomor 3 dalam pangrukti layon yaitu mendoakan arwah. Bagian ini yang dalam kehidupan gereja protestan tidak diperbolehkan, walaupun dalam Katolik ada.
Dalam kehidupan bergereja, sering dijumpai adanya warga gereja yang melakukan ritual brobosan dan ritual lainnya. Untuk brobosan pemahaman akan makna penghormatan tidak menjadi masalah. Bahkan upacara menyapu jalan di depan iringan peti, serta sawur tidak bertentangan dengan hayatan kekristenan. Semuanya itu sarat dengan makna, yang isinya adalah doa dan harapan. Bukankah dalam ibadah pemberangkatan jenazah pun pendeta selalu memohon kepada Tuhan agar jalannya pemakaman itu terus dalam penyertaan Tuhan? ** (mBah MO)

Tentang Burung Pipit dan Tikus

Burung Pipit dan Tikus Burung pipit dan anak-anaknya tertegun melihat keadaan sawah yang berantakan. Mereka hinggap di pohon di...

Best of The Best